JAKARTA (IndoTelko) - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah resmi disahkan.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyatakan penyempurnaan atas pengaturan ruang digital itu memiliki arti penting untuk mewujudkan kepastian hukum.
“Perubahan UU ITE didasarkan pada upaya memperkuat jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis, agar terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum,” tegasnya.
Diungkapkannya, UU ITE telah mengalami dua kali perubahan sejak diundangkan, Pertama, perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang menunjukkan dinamika dan keinginan masyarakat akan adanya penyempurnaan pasal-pasal UU ITE, khususnya akan ketentuan pidana konten ilegal.
“Delapan tahun sejak perubahan pertama, masih ada kebutuhan penyesuaian. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum, baik secara nasional maupun global,” ungkapnya.
Adapun dalam perubahan kedua menekankan arti penting dalam mewujudkan keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum di masyarakat.
“Dinamika pembahasan tersebut memperkaya dan menghasilkan substansi RUU Perubahan Kedua UU ITE ke arah yang jauh lebih progresif dan komprehensif. Semua pembahasan ditujukan untuk memperkuat kebijakan nasional, untuk memenuhi dan melindungi kepentingan masyarakat luas,” tegasnya.
Perubahan dan Penambahan
RUU Perubahan Kedua UU ITE disampaikan Presiden Joko Widodo kepada Ketua DPR RI melalui Surat Nomor R-58/PRES/12/2023 tanggal 16 Desember 2021. Dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan HAM untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) guna mendapatkan persetujuan bersama.
Pembahasan RUU Perubahan Kedua UU ITE melalui 14 kali Rapat Panitia Kerja (Panja) antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI. Selanjutnya Panja Pembahasan RUU menugaskan Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) agar seluruh rumusan substansi RUU, termasuk penjelasannya disempurnakan dan disinkronisasi berdasarkan teknis penulisan perundang-undangan dan kaidah Bahasa Indonesia yang baik.
Pada 21 November 2023, Panja Pembahasan RUU menyetujui laporan dari Timus dan Timsin RUU. Komisi I DPR RI dan Pemerintah kemudian menggelar Rapat Kerja pada 22 November 2023 dalam rangka Pembicaraan Tingkat I, dan telah menyetujui naskah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU ITE untuk dibawa ke Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna untuk disahkan.
Berdasarkan Rapat Panja serta Rapat Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) telah menyelesaikan pembahasan dan menyepakati perubahan 14 pasal eksisting dan penambahan 5 pasal RUU Perubahan Kedua UU ITE.
Beberapa norma pasal yang disempurnakan antara lain mengenai alat bukti elektronik (Pasal 5), sertifikasi elektronik (Pasal 13), transaksi elektronik (Pasal 17), perbuatan yang dilarang (Pasal 27, Pasal 27 (a), Pasal 27 (b), Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 beserta ketentuan pidana (Pasal 45, Pasal 45 (a) dan Pasal 45 (b)), peran pemerintah (Pasal 40), dan kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 43).
Perubahan kedua UU ITE juga melengkapi materi yang meliputi identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 (a)), perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 16 (a) dan Pasal 16 (b)), kontrak elektronik internasional (Pasal 18 (a)), serta peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif (Pasal 40 (a)).
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi kebijakan besar untuk menghadirkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan.
“Sama halnya dengan ruang fisik, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia (HAM) bagi pengguna internet Indonesia di ruang siber, seperti yang telah tertuang pada konstitusi Indonesia. Ruang digital merupakan virtual melting pot, tempat pertemuan berbagai nilai, kebudayaan, kepentingan dan hukum yang berbeda,” tandasnya.
Lima Alasan
Dijelaskannya, setidaknya ada lima alasan perubahan itu perlu dilakukan. Pertama, menurutnya ada penerapan norma-norma pidana dalam UU ITE yang berbeda-beda di berbagai tempat.“Sehingga banyak pihak yang menganggap norma-norma UU ITE multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat,” jelasnya.
Kedua, UU ITE yang ada saat ini belum dapat memberikan perlindungan yang optimal bagi pengguna internet Indonesia. Menkominfo menyoroti penggunaan produk atau layanan digital dapat memberi manfaat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak jika digunakan secara tepat. Oleh karena itu, penyelenggara sistem elektronik harus mengambil tanggung jawab dalam memenuhi hak-hak anak, sekaligus melindungi anak dari bahaya atau risiko fisik dan psikis.
“Dalam berbagai situasi, anak belum memiliki kapasitas atau kemampuan untuk memahami risiko dan potensi pelanggaran haknya dalam produk atau layanan digital,” tuturnya.
Ketiga, Menteri Budi Arie menyatakan pemerintah memperhatikan pembangunan ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar, yang diperkirakan akan menyumbang sepertiga potensi ekonomi digital di kawasan ASEAN.
“UU ITE yang ada saat ini perlu mengoptimalkan peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital. Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia, pemerintah perlu memperkuat regulasi dalam memberikan perlindungan pengguna layanan digital Indonesia dan pelaku UMKM,” jelasnya.
Selanjutnya, Menkominfo menyoroti perkembangan layanan sertifikasi elektronik seperti tanda tangan elektronik, segel elektronik dan autentikasi situs web serta identitas digital.
“Indonesia butuh landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya,” tandasnya.
Perubahan UU ITE diperlukan berkaitan dengan aspek penegakan hukum. Saat ini diperlukan penguatan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam melakukan penyidikan tindak pidana siber, khususnya yang menggunakan rekening bank dan aset digital dalam skema kejahatan.
Dalam hal ini, PPNS di sektor informasi dan transaksi elektronik (ITE) butuh kewenangan untuk memerintahkan penyelenggara sistem elektronik dalam melakukan pemutusan akses sementara terhadap rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital.
Senapas
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatiia Semuel Abrijani Pangerapan menyatakan pengaturan dalam Perubahan Kedua UU ITE sudah selaras dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Ada beberapa pasal dalam UU ITE itu akan berlaku bersamaan dengan UU KUHP yang baru berlaku 1 Januari 2026. Namun ada pula beberapa Pasal UU ITE yang akan dicabut (saat UU KUHP diterapkan),” ungkapnya.
Dirjen Semuel menyatakan beberapa norma dalam revisi UU ITE itu merupakan adopsi dari UU KUHP sekaligus memberikan penjabaran detail dari UU ITE sebelumnya. Dirjen Aptika Kementerian Kominfo memberikan contoh Pasal 27A sebagai salah satu norma perubahan. Pasal itu menyebutkan “Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik”.
“Contohnya Pasal 27, ada yang bertanya juga loh sekarang pasal di undang-undang itu dicabut, 27a kenapa diciptakan. Nah itu pemisahan saja, 27a juga dicabut nantinya dalam UU KUHP-nya berlaku ya,” jelasnya.
Selanjutnya, Dirjen Semuel menyebut adanya perubahan pada norma “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan..” Menurutnya pemilihan kalimat itu merupakan penambahan dari UU ITE yang lama.
“Di UU ITE yang baru, ada kata-kata menyiarkan dan mempertunjukkan. Itu diambil, diadopsi dari definisi di KUHP. Sedangkan dalam UU ITE yang lama, penjelasan tidak komprehensif. Ini kita menjelaskan apa yang dimaksud menyiarkan, mendistribusikan, semua itu dijelaskan supaya tidak ada multitafsir,”tuturnya.
Sementara itu, dalam Pasal 27 ayat 2 tidak ada perubahan, namun ditambahkan penjelasan dan merupakan adopsi dari UU KUHP yang baru kemudian dimasukkan dalam penjelasan lanjutan.
“Pasal 27 ayat 2 terkait dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan atau dapat diaksesnya informasi yang memiliki muatan perjudian,” jelas Dirjen Aptika Kementerian Kominfo.
Menurut Dirjen Semuel, pengaturan itu mengacu pada ketentuan perjudian dalam UU KUHP. “(Kalimat)…dalam hal menawarkan, memberikan kesempatan untuk bermain judi, menjadikan sebagai mata pencaharian, menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi dan turut serta dalam berusaha untuk itu. Jadi,ini diambil juga dari KUHP,” tuturnya.
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo juga menjelaskan adanya perubahan dalam Pasal 3 UU ITE lama yang berubah menjadi Pasal 27 a dalam Perubahan Kedua UU ITE. Menurut Dirjen Semuel perubahan dilakukan sebagai upaya pengelompokan sesuai dengan pengaturan dalam UU KUHP.
“Pasal 3 UU ITE diubah menjadi Pasal 27 a (UU ITE baru) bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik. Ini normanya berbeda, makanya kita pisahkan. Ayat 1 soal kesusilaan, ayat 2 tentang judi, kemudian pencemaran nama baik cluster-nya beda juga di KIUHP. Jadi, kita harus membuat pasal baru,” jelasnya.
Pelindungan Anak
Revisi kedua UU ITE akan menjadi momentum bagus untuk memasukkan perlindungan hak anak dalam mengakses layanan internet dan dunia digital. Harus ada upaya preventif agar konten-konten di dunia maya tidak merugikan anak-anak.
Menurut Dirjen Semuel, perlindungan anak terhadap dunia digital sudah diterapkan di Amerika dan Eropa. Lewat Perubahan Kedua UU ITE, penyedia platform di dunia digital diwajibkan proaktif untuk mencegah anak-anak bisa mengakses konten yang tidak sesuai umur mereka.
“Jadi mau tidak mau penyedia platform harus menyiapkan mekanisme untuk perlindungan anak. Penyedia platform harus bisa mendeteksi adanya penyalahgunaan," tandasnya.
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo menyatakan PSE harus prokatif mengawasi pengguna layanan. Hal ini dijamin dengan pengaturan kewajiban PSE untuk memberi perlindungan bagi anak yang menggunakan maupun mengakses akses elektronik.
"Hak anak juga harus dilindungi jangan sampai terekspos melebihi usianya. Mereka harus mendeteksi apakah banyak anak-anak yang menggunakan platform buatan mereka. Jadi, ketika memang bisa diakses oleh anak mereka harus dan berkewajiban menghapus segala konten dewasa di platform mereka," jelasnya
Menurut Dirjen Semuel, masalah perlindungan anak tidak hanya diatur dalam Pasal 16a Perubahan Kedua UU ITE. Bahkan, Pemerintah akan membuat peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih detail mengenai perlindungan anak di ruang digital.
"Pemerintah bertanggung jawab dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman dan inovatif. Dari revisi UU ITE akan menghadirkan tiga PP. Pertama, merevisi PP yang sudah ada yaitu PP 71 tahun 2019. Lalu di dalam revisi UU ini nanti ada PP khusus untuk pasal 40a yang mengatur adanya keseimbangan, dan pasal baru tentang perlindungan anak juga akan ada PP baru," tuturnya.
Dirjen Aptika Kementerian Kominfo menegaskan anak-anak tidak boleh menjadi alat untuk mencapai keuntungan tertentu melalui konten elektronik, dan anak-anak pun tidak boleh menjadi target marketing bagi siapapun.
“Dengan adanya perlindungan ini, Pemerintah akan mengoptimalkan tindakan lebih lanjut pada konten-konten yang melanggar ketentuan. Nantinya, Kominfo akan menemukan konten pelanggaran dari hasil patroli maupun aduan,” tandasnya.(ak)