JAKARTA (IndoTelko) - Masuknya Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF) pada akhir tahun 2023 lalu merupakan bagian dari upaya kebijakan penting pemerintah Indonesia untuk mewajibkan korporasi melaporkan pemilik manfaatnya sehingga dapat diakses publik. Setelah setahun data itu terbuka, publik mulai melihat seberapa jauh kebijakan ini dapat berjalan efektif, dan apa yang perlu diperkuat lebih lanjut.
Analisis ringkas yang dilakukan oleh Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Woods and Wayside International (WWI), Publish What You Pay (PWYP) dan Transparansi Internasional Indonesia (TII) terhadap 284 badan hukum yang memegang konsesi kebun kayu dan memiliki pabrik pulp, menemukan bahwa kepatuhan industri di sektor pulp setidaknya mencapai 80%, sementara 16% lainnya tidak melaporkan dan 4% diantaranya tidak ditemukan di dalam pencarian pada sistem registrasi pemilik manfaat yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Direktur Transformasi untuk Keadilan, Linda Rosalina menyebutkan, jika dibandingkan dengan kepatuhan seluruh badan hukum di Indonesia yang hanya mencapai 35%, kepatuhan sektor pulp di angka 80% merupakan capaian penting dalam pelaksanaan kebijakan identifikasi pemilik manfaat di salah satu sektor sumber daya alam yang strategis di Indonesia.
Dalam analisis itu, laporan pemilik manfaat yang dapat diakses melalui sistem registri nasional kemudian disandingkan dengan informasi kepemilikan dan kendali perusahaan-perusahaan tertentu melalui laporan keuangan, laporan dari media, publikasi organisasi masyarakat sipil dan data profil perusahaan yang diakses melalui sistem di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Pengujian terhadap data-data itu menunjukkan bahwa data pemilik manfaat yang dilaporkan tidak mencerminkan dinamika kepemilikan bisnis di sektor pulp yang diketahui publik," tambahnya.
Persoalan akurasi ini menggarisbawahi kekhawatiran bahwa praktik pengaturan dan penyembunyian data pemilik manfaat, yaitu orang yang sebenarnya memegang kendali dan mendapatkan keuntungan dari operasional perusahaan, masih terus terjadi di sektor pulp. Laporan singkat tersebut mencatat bahwa dua produsen dominan di sektor ini yaitu Sinar Mas dan Royal Golden Eagle, diketahui menggunakan struktur perusahaan yang rumit dan berlapis di berbagai yurisdiksi luar negeri, yang dapat berdampak mengaburkan informasi pemilik manfaatnya (beneficial owner).
Sementara, TII, Ferdian Yazid mengatakan, temuan ini seharusnya menjadi petunjuk langkah berikutnya yang harus diambil oleh pemerintah, baik itu Kementerian Hukum dan HAM, maupun kementerian sektor, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melakukan verifikasi terhadap laporan yang telah disampaikan oleh berbagai perusahaan itu.
Sedangkan, Koordinator Nasional PWYP, Aryanto Nugroho mengungkapkan, tantangan dalam verifikasi dapat dihadapi dengan memperkuat fungsi pertukaran informasi antara kementerian dan lembaga dan memberikan ruang pada publik untuk memberikan masukan terhadap data pemilik manfaat yang telah dilaporkan perusahaan. (mas)