Badai ternyata belum berlalu di penguasa seluler nasional, Telkomsel.
Helaan nafas lega hanya dapat dinikmati sesaat oleh jajaran manajemen Telkomsel terkait kasus pailit yang membelitnya.
Telkomsel secara resmi lepas dari belitan pailit usai keluarnya permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung pada tanggal 21 November 2012 lalu dan perseroan menerima salinan resmi keputusan tersebut melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 10 Januari 2013 lalu. Salinan keputusan No.704 K/Pdt.Sus/2012 dari Mahkamah Agung telah diterima pada 10 Januari lalu.
Isi putusan tersebut adalah mengabulkan permohonan kasasi dari Telkomsel dan membatalkan keputusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta menolak permohonan PT Prima Jaya Informatika (PJI) untuk seluruhnya.
Sebelumnya, PJI menggugat pailit Telkomsel dan kemudian permohonan tersebut diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 September 2012.
PJI sendiri melakukan perlawanan dengan mengajukan PK ke Mahkamah Agung (MA).
Di tengah pertarungan yang belum selesai, Telkomsel kembali diuji.
Adalah keluarnya penetapan Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat melalui Putusan No. 48/Pailit/2012/PN. Niaga JKT.PST jo No.704K/Pdt.Sus/2012 dimana menyatakan pembayaran fee kurator senilai Rp 146,808 miliar sehingga degup jantung manajemen di bawah pimpinan Alex J. Sinaga kembali berdetak kencang.
Angka Rp 146.808 miliar keluar dari perhitungan 0,5% dikalikan total aset yang dimiliki Telkomsel sekitar Rp 58.723 triliun yakni Rp. 293.616.135.000. Angka sekitar Rp 293.616 miliar ini dibagi dua antara Telkomsel dengan Pemohon Pailit (Prima Jaya Informatika/PJI) sehingga masing-masing dibebankan Rp. 146.808 miliar.
Penetapan ini merujuk kepada Kepmen Kehakiman No. M.09-HT.05.10/1998 bukan Permenkumham No.1 Tahun 2013 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus.
Seharusnya Telkomsel harus membayar tagihan fee kurator pada Jumaat (15/2) lalu. Namun, anak usaha Telkom ini menolak dengan tegas pembayaran karena menganggap perhitungan fee tidak wajar dan cacat hukum.
Telkomsel berpandangan aturan yang digunakan adalah Permenkumham No 1/2013 tentang imbalan jasa kurator yang berlaku 11 Januari 2013. Dalam aturan ini seharusnya perhitungan fee kurator adalah berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan persentase aset pailit.
Jika mengacu kepada jam kerja, dengan asumsi tarif masing-masing kurator per orang Rp 2,5 juta per jam, 8 jam per hari, selama 86 hari, maka total imbalan 3 kurator sekitar Rp 5.160 miliar dan dibebankan kepada pemohon pailit
Bahkan, Telkomsel berpandangan jika pun harus menggunakan aturan yang lama maka yang berlaku tetap perhitungan berdasarkan jam kerja.
Perbedaan di Permenkumham lama atau baru ini adalah, di aturan lama jika tidak terjadi pailit fee kurator dihitung berdasarkan jam kerja dan ditanggung berdua. Sedangkan di aturan baru jika tidak terjadi pailit fee dihitung berdasarkan jam kerja dan ditanggung pemohon.
Dukungan
Dukungan terhadap Telkomsel pun mengalir untuk menolak pembayaran fee kurator yang tak wajar itu
Hal ini disuarakan Ketua DPR RI Marzuki Alie, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Sidik, Anggota Komisi I DPR RI Hayono Isman, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala, dan Pengamat Ekonomi Drajad Wibowo.
Terakhir, pada Sabtu (16/2), Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, menegaskan Telkomsel tak perlu membayar fee kurator yang tak wajar itu.
Menurut Menteri Amir, ada dua alasan yang bisa dipegang Telkomsel.
Pertama, keputusan MA jelas menyatakan Telkomsel tidak pailit alias membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sehingga tidak wajar seorang termohon yang tidak pailit kemudian dibebani biaya pengurusan harta pailit dengan persentase dari total aset yang dimilikinya.
Kedua, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus tidak berlaku lagi karena berpotensi memeras perusahaan-perusahaan besar.
Dukungan dari Menteri Amir ini tentu bernilai tinggi mengingat kementrian Hukum dan Ham yang mengeluarkan aturan tentang imbalan jasa bagi kurator dan pengurus.
Namun, walau banyak pihak mendukung, Telkomsel tak boleh terlena. Anak usaha Telkom ini harus belajar dari pengalaman kasus hukum yang menimpa Indosat dalam dugaan penyalahgunaan frekuensi 3G.
Dalam kasus tersebut, walau Indosat sudah didukung oleh Menkominfo Tifatul Sembiring, keluarnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam menilai audit BPKP, dan sejumlah tokoh nasional, tetap saja dalam putusan sela Kamis (14/2) lalu kasus dianggap layak untuk dilanjutkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Artinya, di Indonesia terkadang logika intelektual bisa tidak linear dengan logika hukum. Sesuatu yang harus bisa diterima di negara yang baru lepas dari kungkungan rezim otoriter selama puluhan tahun.
Semoga kali ini badai benar-benar berlalu di penguasa seluler itu.
@IndoTelko