Kabar tak sedap itu akhirnya menjadi kenyataan. Prediksi banyak kalangan tentang Telkom akan gagal di Myanmar itu benar adanya.
Hal itu dibuktikan dengan keluarnya pengumuman 12 peserta yang berhak lolos ke babak final untuk memperebutkan dua lisensi seluler di Myanmar oleh pemerintah setempat.
Kedua belas peserta itu adalah konsorsium Bharti Airtel, Konsorsium Vodafone dan China Mobile, Telenor, SingTel, Axiata, Konsorsium MTN , Bermuda Digicel, France Telecom, Qatar Telecommunications, Millicom International, Viettel Group, dan KDDI Corporation.
Tak masuknya nama Telkom sebenarnya bukan kejutan bagi kalangan yang mengikuti aksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini masuk ke gelanggang sejak Januari lalu di Myanmar.
Jelang tutup januari 2013, sudah tersiar kabar nama Telkom tak masuk sebagai pihak yang memasukkan proposal ke panitia tender di Myanmar.
Namun, kala itu Telkom membantah tak memasukkan proposal karena masa Expression of Interest (EOI) diperpanjang. Kasak-kusuk menyebutkan sebenarnya kala itu Telkom dalam posisi gamang.
Pasalnya, mitra yang tadinya diharapkan digandeng, SingTel, mendadak balik badan dan malah ikut sebagai peserta dengan menggandeng konglomerat bisnis Myanmar KBZ. Tak hanya itu, SingTel juga menyebar dua anak usaha untuk masuk di tender yakni Bharti Airtel dan Telenor.
Ini tentu membuat manajemen Telkom kalang kabut. Bayangkan, SingTel yang selama ini menikmati manisnya madu Telkomsel, ternyata tidak bisa dijadikan mitra dalam mendukung ekspansi Telkom.
Padahal, salah satu persyaratan tender yang umum berlaku di luar negeri adalah masalah rekam jejak terutama dalam menangani jutaan pelanggan dan jaringan di luar negara asalnya. Jika SingTel yang digandeng tentu akan memuluskan langkah Telkom dengan rekam jejaknya di banyak negara.
Kala tersiar kabar Telkom menggandeng pemain setempat, sontak prediksi BUMN ini tak akan lolos hingga babak evaluasi menyeruak. Pasalnya, kisah sukses Telkom lebih banyak di negeri sendiri. Alhasil, karena dinilai tak mampu memenuhi persyaratan berpengalaman menangani satu juta pelanggan selama dua tahun, sayap ekspansi Telkom terpaksa patah di Myanmar.
Memang, masih ada peluang di bisnis Teknologi Informasi (TI), tetapi nilainya tak menggiurkan seperti bisnis jasa dan jaringan seluler. Bayangkan, satu lisensi seluler saja nilai proyeknya mencapai Rp 19 triliun. Belum lagi melihat nilai pasar seluler di Myanmar yang diperkirakan US$23 miliar atau setara Rp 223.3 triliun.
Bisa dikatakan kondisi Myanmar adalah idaman bagi operator karena seperti padang rumput hijau yang masih kosong. Tak heran para pemain besar dunia berburu ingin menguasai padang rumput ini.
Kita harapkan kegagalan di Myanmar ini menjadikan pelajaran bagi manajemen Telkom dan pemerintah di masa mendatang. Pasalnya, di negara manapun, sebuah entitas bisnis kala ekspansi tak akan bisa kuat tanpa bantuan dari pemerintahnya.
Hal yang sangat disayangkan dalam kasus ini adalah Myanamar banyak dibantu Indonesia dari sisi politik. Ternyata, investasi moral itu tak bisa dikonversi menjadi sesuatu yang berharga secara ekonomi.Sebuah pelajaran yang sangat mahal bagi Indonesia secara keseluruhan.
@indoTelko.com