IndoTelko Forum pada Selasa (25/6), lalu menggelar diskusi dengan tajuk Spirit Berbagi dan Mencari Keadilan.
Para pembicara yang dihadirkan kali ini adalah Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Kementerian Kominfo Muhammad Budi Setiawan, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang juga Direktur Utama Telkomsel Alex J Sinaga, Director & Chief Wholesale Indosat Fadzri Sentosa, dan President Director XL Axiata Hasnul Suhaimi.
Diskusi kali ini seperti dipaparkan Founder IndoTelko Forum Doni Darwin, bertujuan untuk mengedukasi publik terkait dengan wacana konsolidasi di industri telekomunikasi yang terus berkembang diantara pelaku usaha.
Wacana konsolidasi itu bisa dalam bentuk akuisisi diikuti merger antar pemain atau berbagi jaringan aktif dalam rangka efisiensi investasi di tengah masih belum positifnya margin dari jasa data.
Konsolidasi menjadi hal yang penting karena Indonesia saat ini memiliki jumlah pemain yang terlalu banyak jika merujuk pada negara dengan jumlah populasi dan kontur geografi mirip negeri ini.
Sekadar diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat selama periode 2006-2010, pertumbuhan pengguna seluler di Indonesia rata-rata mencapai 31,9% per tahun dengan jumlah penyelenggara telekomunikasi terbanyak di dunia, sepuluh operator dengan teknologi GSM dan CDMA.
Banyaknya jumlah pemain membawa dampak positif terhadap penurunan tarif. Namun di sisi lain, terlalu banyaknya operator membuat sumber daya frekuensi untuk berkembang jadi terbatas. Sementara pasar juga telah memasuki era saturasi dengan penetrasi 120% dengan coverage 95% populasi penduduk.
Belum Siap
Hal yang menjadi catatan adalah ternyata pemangku kepentingan di negeri ini belum siap jika konsolidasi terjadi antara pemain dengan melibatkan jumlah frekuensi besar.
Aturan dari Kementrian Kominfo tak membuat pakem satu ditambah satu menjadi dua bisa terjadi.
Pasalnya, dalam aturan dinyatakan sumber daya terbatas berupa frekuensi dan blok nomor tak bisa diperjualbelikan. Belum lagi realita di lapangan dimana kepemilikan frekuensi tak merata antara pemain besar.
Hal yang lumrah akhirnya timbul kekhawatiran, terutama dari penguasa pasar, adanya distorsi jika satu pemain memiliki frekuensi lumayan besar dengan dukungan modal yang kuat bisa menganggu dominasinya.
Solusi lain dari konsolidasi sebenarnya adalah berbagi jaringan aktif. Teknologi sudah memungkinkan, tetapi regulasi belum mendukung.
Padahal, jika merujuk kepada cara operator T-Mobile dengan Three di Inggris mengembangkan mobile broadband dengan mengkonsolidasikan jaringan 3G milik keduanya melalui pendirian Joint Ventures, merupakan hal yang wajar dan pantas diterapkan di Indonesia.
Aksi keduanya dengan mengkonsolidasikan sekitar 12.400 sites menjadikan mampu menawarkan layanan 3G terbaik di negeri itu dengan biaya termurah dan roll out jaringan lebih cepat. Dalam dua tahun bisa memiliki kapasitas 49 juta pelanggan yang normalnya itu dilakukan selama 5-6 tahun.
Tetapi, seperti judul dari editorial kali ini. Berbagi itu yang susah.
Dalam ilmu matematika menambah, mengurangi,dan mengalikan biasanya lebih gampang dilakukan. Tetapi kala masuk tahap berbagi, ternyata tidak hanya dalam kalkulasi, melihat pihak lain mau berbagi juga tidak menjadikan semuanya senang.
Kalau sudah begini, solusinya adalah ketegasan dari regulator dengan mengacu pada perkembangan zaman dimana menimbang kepentingan semua pihak dalam mengeluarkan regulasi terbaru nantinya terkait konsolidasi.
Sesuatu yang mudah ditulis dan hangat didiskusikan, tetapi sulit diimplementasikan.
@indoTelko.com