JAKARTA (IndoTelko) – Nama PT Nusa Satu inti Artha mungkin tak banyak yang kenal. Tetapi jika menyebut produk DOKU, bisa dikatakan banyak orang kenal. DOKU adalah produk milik Nusa Satu Inti Artha. Perusahaan ini salah satu pemilik lisensi e-money di Indonesia selain bank dan operator telekomunikasi.
Nusa Satu Inti Artha adalah perusahaan payment gateway pertama milik lokal di Indonesia yang berdiri pada April 2007. Hingga semester pertama 2014 perseroan sudah melayani transaksi sekitar Rp 3,1 triliun. Tahun ini dibidik nilai transaksi yang dilayani sekitar Rp 7 triliun – Rp 7,5 triliun atau naik 40%-50% dibandingkan perolehan tahun lalu yang mencapai Rp 5 triliun.
Perseroan telah melayani lebih dari 2 ribu merchant. Perseroan juga melebarkan sayapnya sejak pertengahan 2013 dari sebelumnya banyak bermain di pasar korporasi ke merchant UKM dan online sellers melalui produk Doku Myshortcart.
Tak hanya itu, bagi individu yang ingin mencicipi transaksi online, perseroan juga menghadirkan Doku Wallet. Tercatat ada 80 ribu pengguna aktif Doku wallet sekarang yang berada di kelompok usia 18-35 tahun.
Belum lama ini dalam beberapa kesempatan IndoTelko mewawancarai Budi Syahbudin sebagai Principal dari DOKU. Berikut kutipannya:
Bagaimana memulai bisnis ini?
Kami belajar dari kegelapan. Bagi kami, e-money adalah dagangan utama. Sedangkan bagi operator atau bank ini merupakan layanan baru, lebih dilihat sebagai nilai tambah ke pelanggannya. Posisi kami sebagai pemain independen, kita harus mengikuti standar bank dan operator telekomunikasi, sementara industrinya sendiri sedang mencari bentuk.
Bagaimana memandang bisnis e-money?
Kita harus tahu dulu siapa pemangku kepentingan di sektor ini. Ada Bank Indonesia (BI), bank umum sebagai custodian, operator telekomunikasi, penyelengara platform e-money, dan merchant. Bicara size, ini besar sekali. Lihat transaksi e-commerce, itu ada uang berputar katanya US$ 1,2 miliar. Saya rasa agar optimal menggarap potensi yang ada itu, semua harus duduk bersama karena ada isu interperobility dan lainnya.
Tantangan mengembangkan e-money di Indonesia?
Butuh kerja keras untuk edukasi, soalnya ini masalah kepercayaan. Transaksi online itu kan masalah prinsip-prinsip kepercayaan. Saat ini kita masih awareness dan berusaha untuk membuka sekat-sekat pembatas agar semua bisa sinergi. Industri ini masih belum stabil.
Bagaimana pendapatan bisa datang ke Doku?
Kami mengembangkan dua model bisnis, ada yang pendekatan persentase dari transaksi atau diambil angka fixed dari transaksi. Ini tergantung dari pelanggannya. Kita di laporan keuangan sudah mulai merasakan laba, tetapi investasi jalan terus Tahun ini belanja modal sekitar Rp 120 miliar, soalnya mau garap bisnis ala branchless banking dan lebih agresif ke pasar UKM. Struktur pendapatan sekarang dari korporasi sekitar 70%, ritel 30%.
Bagaimana menggarap potensi pengiriman uang?
Kami sedang melakukan ujicoba dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), namanya tak bisa disebut. Kita mau bangun dulu kebiasaan. Kita manfaatkan social network dan pendekatan budaya, karena inilah keunikan di Indonesia. Ini kalau berjalan luar biasa dampaknya bagi Indonesia.
Mengapa tidak gandeng operator?
Kami butuh dukungan operator dari sisi infrastruktur, karena jaringannya ada sampai pelosok. Bagi kami dukungan operator itu ke e-money adalah jaringannya bagus agar transaksi lancar. Soalnya kami ini diaudit oleh BI untuk layanan. Kalau kualitas infrastruktur telekomunikasi kita bagus, saya yakin transaksi elektronik bisa lebih besar dari sekarang.(id)