Belajar dari Kasus Maxis di India

Ilustrasi (Dok)

Sebuah berita mengejutkan dilansir Reuters di awal September ini. Dalam situsnya, kantor berita ini mengabarkan  mantan menteri telekomunikasi India bersama sejumlah pengusaha dan pimpinan  Maxis dari Malaysia ditangkap pihak kepolisian setempat dalam kasus dugaan korupsi penjualan operator seluler di India.

Sang mantan pejabat, Dayanidhi Maran,  pernah menjadi menteri telekomunikasi India periode 2004-2007. Pria ini ditangkap polisi federal India karena terlibat suap dan persekongkolan dalam penjualan aset negara yang merugikan keuangan pemerintah hingga US$ 29 miliar.

Operator yang dilepas adalah Aircel delapan tahun silam ke kelompok perusahaan telekomunikasi asal Malaysia, Maxis.
Kepolisian juga menangkap Kalanithi Maran, yang merupakan saudara sang menteri. Tak berhenti disitu, aparat menangkap orang kedua terkaya di Malaysia Ananda Krishnan serta tangan kanannya, Augustus Ralph Marshall.

Biro Pusat Investigasi India (CBI) mencium aroma tak sedap pelepasan Aircel sejak 2011. Investigasi mendalam dilakukan setelah tuduhan terhadap Menteri Dayanidhi yang memaksa menjual perusahaan operator seluler Aircel semakin kencang.

Menurut CBI konspirasi yang melibatkan mantan pejabat dan pengusaha multinasional itu konspirasi kriminal. Tak ayal,  polisi juga menuntut seluruh perusahaan yang berada di bawah kekuasaan Ananda Krishnan, yakni Astro All Asia Networks Plc, Maxis Communications Bhd.

Suara resmi dari Maxis menolak keras semua tuduhan yang dilempar oleh aparat hukum di India. Bahkan, operator ini menimbang membawa kasus tersebut ke Arbitrase Internasional.

Pelajaran
Seperti diketahui, Indonesia memiliki kasus yang sedikit mirip dengan Aircel. Pada tahun 2002, Indonesia menjual 41,94% saham Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) dengan harga US$ 627 juta.

Kala itu, Indosat adalah perusahaan telekomunikasi yang seksi layaknya Telkom karena memiliki lisensi paling lengkap.Di akhir tahun 2001, Indosat memberikan laba sebesar Rp1,4 triliun dan nilai ekuitas sebesar Rp10,7 triliun serta aset mencapai Rp22,3 triliun.

Indonesia sebenarnya pernah diberikan kesempatan kedua untuk merebut kembali Indosat atau membatasi saham asing di operator itu pada 2008. Sayangnya, pintu yang terbuka itu tak dimanfaatkan.

Kala itu STT memutuskan hengkang dari Indosat pasca keluarnya putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan adanya kepemilikan silang dari Temasek di Telkomsel dan Indosat. Kepemilikan silang itu diwakili dengan kehadiran dari STT di Indosat dan SingTel di Telkomsel.

KPPU dalam keputusannya pada November 2007 meminta Temasek harus melepas 5%  kepemilikannya di Indosat atau Telkomsel kepada penawar yang tidak memiliki afiliasi atau mengurang kepemilikan hingga 50% di kedua operator tersebut. Sedangkan PN Jakarta Pusat menguatkan dengan meningkatkan pengurangan menjadi 10%.

Pelepasan saham oleh STT ke Qatar Telecom (sekarang Ooredoo) dianggap masih terafiliasi. Pasalnya, STT dan QTEL menguasai saham Starhub di Singapura melalui kendaraan  Asia Mobile Holdings Pte. Ltd (AMH). Saat akuisisi Indosat, AMH adalah salah satu kendaraan yang digunakan oleh STT.

Namun, transaksi antara STT dan QTEL tetap berjalan di 2008 dimana 40,81% saham Indosat dikempit dengan membayar tunai US$ 1,8 miliar. Kemudian pada tahun 2009, membeli 24,19% saham dari masyarakat (tender offer) sehingga total kepemilikan menjadi 65%.

Belajar dari yang terjadi di India, kita berharap pemerintah baru pada Oktober mendatang merealisasikan janjinya mencoba merebut kembali Indosat.

Langkah awal, bisa dengan membuka kembali proses pelepasan ke STT dimana kala itu banyak kalangan yang mempermasalahkan atau menelisik kembali proses bertambahnya porsi kepemilikan Ooredoo di Indosat.

Jika ini dilakukan, setidaknya bisa memberikan keyakinan ke masyarakat bahwa pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo memiliki niat merebut kembali Indosat seperti janji yang dilontarkannya kala debat calon presiden beberapa waktu lalu.

@IndoTelko