Sangkarut Data Kependudukan di Indonesia

Ilustrasi (dok)

Presiden Joko Widodo menunjukkan keseriusannya menunaikan janji-janji kala kampanye lalu. Hal ini terlihat dengan penerbitan kartu sakti untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.

Tiga kartu sakti diterbitkan yakni Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Hal yang menarik dalam menyalurkan bantuna non tunai pemerintah mengadopsi uang elektronik. Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS) memanfaatkan platform e-cash dari bank Mandiri dengan dukungan SIM Card dari Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat.

Uang yang dikelola dalam penyaluran kartu sakti lumayan menggiurkan yakni Rp 6,2 triliun. Hitungan kasarnnya ada 15,5 juta orang yang akan mendapatkan bantuan sekitar Rp 400 ribu dari pemerintah.

Untuk tahap awal, pemerintah menyiapkan 1 juta kartu telepon seluler. Telkomsel rencananya menyediakan 550 ribu kartu, sekitar 450 ribu kartu disediakan oleh Indosat dan XL Axiata untuk warga di Pulau Jawa.

Kartu telepon  tersebut bakal aktif selama lima tahun untuk menyalurkan bantuan non-tunai. Bantuan itu akan masuk ke rekening Mandiri E-cash. Begitu bantuan non-tunai masuk, warga dapat menukarkannya menjadi uang tunai di kantor Pos Indonesia terdekat atau agen penukaran yang telah ditunjuk.

Administrasi Penduduk
Diadopsinya e-money tentunya karena ingin mengusung semangat transparansi. Sayangnya, hal ini tak didukung administrasi data kependudukan yang mumpuni.

Indonesia selama ini mengandalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP)  untuk administrasi kependudukan. Sayangnya program e-KTP yang digagas sejak beberapa tahun lalu tidak berjalan sempurna. Alhasil, pemerintahan Jokowi lebih memilih melakukan moratorium untuk program e-KTP.

Sekadar mengingatkan, data yang ada di e-KTP banyak diandalkan oleh semua sektor. Aktivasi SIM Card merujuk kepada data tersebut. Seandainya data di e-KTP amburadul, tentunya rekening ponsel yang ada di penerima bantuan tak valid. Ujungnya, bisa saja pihak tak berhak mendapatkan bantuan.

Hal yang patut dipertanyakan adalah jika e-KTP di moratorium, apakah program yang menelan investasi Rp 5,6 triliun itu tak pernah dievaluasi selama ini?   

Seandainya hasil evaluasi di pemerintahan Jokowi menyatakan perlu diadopsinya platform baru, bagaimana nasib program yang lama? Harap diingat, e-KTP tak sekadar sekeping kartu tetapi ada sejumlah alat lain yang dibeli untuk mendukungnya seperti e-KTP reader, fingerprint, retina recorder, digital signature dan lainnya.

Kita harapkan pemerintahan Jokowi bisa bertindak arif nantinya dalam memperlakukan e-KTP mengingat nilai strategisnya di era BIG Data. Jika nantinya keputusan yang dipilih  memulai semua dari awal, tentu Indonesia kian tertinggal menjadi masyarakat modern. Sesuatu yang disesalkan mengingat pasar bebas ASEAN sudah di depan mata.

@IndoTelko