JAKARTA (IndoTelko) – Pemberlakuan sensor terhadap konten bermuatan negatif di dunia maya sebuah keharusan dan tak bisa ditolak karena diamanatkan Undang-undang (UU).
“Soal konten negatif atau berbau pornografi di dunia maya harus disensor, itu diamanatkan UU Pornografi. Jadi, kalau Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif digugat ke Mahkamah Agung (MA), itu kami hormati sebagai proses hukum,” tegas Juru bicara Kemenkominfo Ismail Cawidu, kemarin.
Dijelaskannya, aturan menteri tersebut lebih sebagai kepada tata laksana teknis dari UU, agar dalam pelaksanaan fokus dan tak melebar.“Peraturan Menteri lebih kepada hal teknis, kalau itu dipermasalahkan, kami terbuka berdiskusi.Waktu membuat aturan itu kami juga melibatkan partisipasi publik kok,” jelasnya.
Sebelumnya, aturan sensor di dunia maya itu dibawa ke uji materi oleh delapan pemohon pada Jumat (21/11) ke Mahkamah Agung (MA).
Kedelapan pemohon itu yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (ICT Watch), Shelly Woyla Marliane, Damar Juniarto, Ayu Oktariani, dan Suratim.
Dasar pengajuan uji materi ini antara lain: Pertama, Permen 19/2014 gagal merumuskan secara definitif yang dimaksud ‘konten bermuatan negatif.” Hal ini memiliki implikasi serius pada perlindungan hak asasi, karena tanpa batasan yang jelas konten apapun di internet dapat dikategorikan sebagai konten negatif.
Kedua, penerbitan Permen 19/2014 didasarkan pada UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Maka seharusnya larangan dalam Permen 19/2014 tidak melebihi tindakan-tindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi. Misalnya hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang Pasal 27-29 UU ITE, atau melaranga situs bermuatan pornografi.
Ketiga, Permen 19/2014 tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi untuk menutup situs tersebut. Maka, legitimasi kewenangan Keminfo pada Permen 19/2014 tidak sah karena tidak berdasar.
Keempat, pemblokiran ‘konten yang dilarang’ sudah aktif dilakukan Internet Service Provider atas perintah Kominfo dengan merujuk pada daftar TRUST+Positive yang dibentuk berdasarkan Permen 19/2014. Pada implementasinya, materi pengaturan pemblokiran ini membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD 1945.
Seharusnya materi Permen 19/2014 diatur oleh Undang-Undang untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.
Berlatar-belakang munculnya beragam permasalahan dari penerbitan dan implementasi Permen 19/2014, Para Pemohon menyadari mendesaknya dilakukan uji materi PERMEN 19/2014.
Para Pemohon memohon agar MA menyatakan Permen 19/2014 tidak sah dan tidak berlaku secara umum, serta bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010.(wn)