JAKARTA (IndoTelko) – Tahun 2015 bisa dikatakan berdentang kencangnya lonceng kematian bagi teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) di Indonesia.
Pasalnya, para pemain utama yang mengusung teknologi ini selama 2014 sudah memberikan kepastian untuk meninggalkan CDMA dan beralih ke Long Term Evolution (LTE). Pemerintah pun memberikan dukungan dengan mengeluarkan aturan
teknologi netral di frekuensi 800 MHz yang selama ini dihuni pemain CDMA.
Para pemain di frekuensi ini terdiri atas Bakrie Telecom, Flexi, StarOne, dan Mobile-8 Telecom (Smartfren). Telkom dan StarOne memutuskan untuk menghentikan layanan Fixed Wireless Access (FWA) dengan mengalihkan pelanggan ke layanan seluler berbasis teknologi GSM serta memanfaatkan frekuensi 800 MHz untuk E-GSM.
Bakrie Telecom mengibarkan bendera putih sebagai penyedia jaringan dan fokus menjadi penyedia jasa melalui kolaborasi dengan Smartfren. Smartfren yang masih didukung finansial kuat rencananya akan menggelar FDD LTE. Keduanya masih menyelenggarakan teknologi CDMA selama masa transisi sekitar dua tahun menuju full 4G nantinya.
Pemicu
Presiden Direktur Bakrie Telecom Jastiro Abi mengungkapkan, kompetisi di pasar seluler nasional memang tak menguntungkan bagi pemain CDMA dimana tiga pemain GSM besar (Telkomsel, Indosat, dan XL) menguasai sekitar 83% pangsa pasar, sementara pemain CDMA hanya sekitar 8%.
Dalam presentasinya kala paparan publik beberapa waktu lalu, Abi mengungkapkan jika dilihat dari pertumbuhan tahunan (CAGR) secara penetrasi CDMA di Indonesia mengalami masa jaya dalam periode 2006-2009 dimana tumbuh 49%, sementara GSM di periode sama hanya 36%.
Namun, dalam periode 2010-2013, CAGR CDMA justru minus 6% sedangkan GSM terus tumbuh 16%. Sedangkan penetrasi SIM Card melebihi jumlah penduduk di 2013 yakni sekitar 340 juta nomor atau 119% melebihi total populasi.
“Beberapa faktor pemicu pudarnya CDMA di Indonesia diantaranya pasar telah jenuh ditambah meningkatnya persaingan dari pemain GSM. Ditambah dengan keputusan Telkom dan Indosat berhenti berinvestasi di CDMA, ini mengakibatkan penurunan pertumbuhan secara tajam,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, Telkom melalui Flexi selama ini menjadi pemimpin pasar CDMA dengan memiliki sekitar 16 juta pelanggan. Posisi kedua sempat digenggam Bakrie Telecom dan ketiga Smartfren.
Faktor lain yang mempengaruhi industri CDMA di Indonesia adalah perang tarif yang dimulai 2008 telah mengurangi margin dan akhirnya memaksa pemain mundur. Pada 2009, Average Revenue Per User (ARPU) dan EBIT Margin pemain GSM sekitar Rp 43 ribu dan CDMA (Rp 27 ribu).
Namun, pada 2013, ARPU pemain GSM di kisaran Rp 27 ribu sementara EBIT Margin di Rp 38 ribu, sedangkan ARPU CDMA di Rp 13 ribu dengan EBIT margin Rp 21 ribu.
Kondisi makin berat bagi pemain CDMA kala Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi murah tidak lagi dinikmati dan berujung biaya operasional menjadi membengkak. Belum lagi penyedia teknologi tidak menunjukkan niat mengembangkan CDMA dan beralih ke LTE. Sedangkan di sisi perangkat ke konsumen, ponsel CDMA juga terbatas.
“Sejauh ini kami masih bertahan karena ada ceruk pasar low end, tetapi ARPU-nya rendah dan sensitif terhadap perubahan harga,”pungkasnya.(id)