Pemerintah belum lama ini mengumumkan adanya kandungan lokal di teknologi berbasis Frequency Division Duplexing Long Term Evolution (FDD-LTE) atau 4G yang baru dicicipi masyarakat Indonesia secara terbatas.
Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di sisi perangkat jaringan diharapkan pada 2015 sudah mencapai 30% dan di 2017 bisa mencapai 40%. Sementara untuk perangkat di konsumen (smartphone) nilai TKDN diharapkan sebesar 20% pada 2015 dan menjadi 30% di 2017.
Berdasarkan Peraturan Menteri (Kemenperin) 69/2014 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Industri Elektronika dan Telematika, penetapan nilai dibagi atas dua yakni nilai TKDN manufaktur 80% dan nilai TKDN pengembangan 20%.
Isu kandungan lokal ini sepertinya tak akan bisa ditolak oleh pelaku usaha, karena melibatkan tiga kementrian. Selain Kemenperin, Kementrian Perdagangan memiliki Peraturan Menteri Perdagangan No. 82 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler.
Di beleid itu disebutkan setelah tiga tahun ditandatangani, importir ponsel wajib untuk membangun pabrik di dalam negeri. Izin Importir Terdaftar (IT) bisa dicabut kalau setelah tiga tahun tidak membangun pabrik.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun kabarnya akan menyiapkan Peraturan Menteri nantinya soal TKDN di 4G ini. Aturan ini akan melengkapi isu TKDN yang sudah ada di frekuensi 2,3 GHz dimana digunakan untuk TDD-LTE.
Pemerintah mengharapkan dengan adanya aturan soal kandungan lokal ini, manufaktur dalam negeri bisa mencicipi sekitar 2,5% belanja sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencapai sekitar Rp700 triliun per tahun.
Butuh Dukungan
Bicara isu TKDN, sebenarnya seperti memutar lagu lama di kaset kusut. Pemerintah sudah berkali-kali mencoba menerapkan kandungan lokal untuk teknologi baru.
Cerita WiMAX di 2,3 GHz yang wajib memenuhi kandungan lokal bisa menjadi rujukan dimana yang terjadi banyak manufaktur lokal menjadi tumbal karena aturan berubah-ubah.
Belum lagi soal isu pajak impor komponen yang seperti melestarikan mental pedagang karena memasukkan barang utuh ke Indonesia lebih murah ketimbang memproduksinya di dalam negeri. Ditambah lagi isu pengenaan pajak bagi pendirian pabrik, siapa yang akan mau susah payah membangun manufaktur untuk TIK lokal?
Pemerintah pun harus bersiap-siap nantinya digugat oleh komunitas internasional jika isu kandungan lokal tak dikemas dengan elok mengingat Indonesia sudah ikut dalam World Trade Organization (WTO).
Kita harapkan pemerintah mengurai benang kusut ini sebelum meminta manufaktur lokal berbicara banyak di TKDN. Jika tidak, hal yang terjadi adalah mengakali perhitungan TKDN atau memaksakan parameter yang seolah-olah sudah berbau lokal.
Insentif di perpajakan hal yang mutlak, selain penyediaan lahan, logistik, dan kepastian hukum, serta upah. Selesai dengan hal mendasar, barulah mulai memilih teknologi paling ideal nantinya dimana manufaktur lokal bisa berbicara banyak. Implementasi 5G yang akan marak pada 2020 rasanya sesuatu yang realistis dibidik manufaktur Indonesia.
@IndoTelko