JAKARTA (IndoTelko) – Regulator telekomunikasi Indonesia sejak 2013 lalu pernah menginisiasi sebuah aturan untuk menjerat pemain Over The Top (OTT) agar ada kesetaraan berbisnis dengan operator.
Kala itu, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai para pemain OTT telah mendistorsi bisnis seluler Indonesia sehingga dirasa perlu adanya regulasi yang mengatur para pelaku usaha berbasis kreatifitas itu.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator. Golongan pelaku usaha yang masuk OTT diantaranya Facebook, Twitter, dan Google.
Anehnya, sejak ide ini digulirkan, entah kenapa aturan itu tak bisa menjadi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) seperti yang dijanjikan.
“Dua tahun lalu memang ada inisiatif dari regulator dan Kominfo untuk mengatur OTT. Saat itu dianggap asumsinya kurang tepat sehingga rencana regulasi ini kandas dan dipikirkanlah cara lain untuk regulasi ini,” ungkap Anggota KRT BRTI M Ridwan Effendi, belum lama ini.
Menurutnya, salah satu penyebab regulasi untuk OTT tak pernah selesai karena operator sendiri tak bisa menjawab secara teknis dan detail mau apa dengan OTT.
“Kami bisa masuk ke OTT karena ada Permenkominfo soal konten dimana penyelenggara jaringan dengan OTT wajib melaporkan ke kementerian dan BRTI bentuk kerjasamanya. Masalahnya, hingga sekarang kita belum mendapatkan laporan soal review Perjanjian Kerjasama dengan OTT sehingga kita tidak tahu itu menguntungkan atau merugikan operator,” katanya.
Ditambahkannya, operator sendiri tak perlu harus ketakutan dengan OTT karena dalam Indonesia Broadband Plan sudah diberikan sinyal kemana arah aplikasi yang dibutuhkan masyarakat yakni seperti e-health, e-gov, e-deucation, dan lainnya.
“Masalahnya operator itu kurang mendukung pengembang lokal. Coba lihat saja dari aktifitas pemasarannya, lebih banyak mendorong aplikasi OTT global,” tegasnya.
Direktur Services Management XL Axiata Ongki Kurniawan mengaku bernegosiasi dengan OTT global semacam Facebook, Google, dan lainnya lebih alot ketimbang pemain lokal. “Tetapi selalu ada peluang dengan melihat kesamaan kebutuhan. Kami bisa melakukan itu dengan Facebook kemarin,” katanya.
Dalam catatan, pada 2013 pemerintah akan menyorot lima aspek penting dari kerja sama operator dengan OTT diantaranya kualitas layanan merupakan bagian dari perlindungan pengguna, perlu keamanan dan privasi layanan.
Kemudian data pengguna tidak disalahgunakan, beban pajak dan nonpajak harus ditanggung secara adil, tidak hanya oleh operator telekomunikasi saja. Di Indonesia, kabarnya setiap tahun operator menyetor Rp 2,5 triliun ke OTT asing.(dn)