JAKARTA (IndoTelko) – Sempat mulus beroperasi sejak peluncurannya tahun lalu, kali ini aplikasi pemesanan taksi Uber benar-benar tengah diuber oleh Aparat Penegak Hukum di Jakarta karena melanggar aturan.
“Pelayanan Uber tidak berbentuk taksi. Harusnya kan pakai nomor polisi berwarna kuning dan sesuai dengan ketentuan yang ada di Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes M. Iqbal, kemarin.
Diungkapkannya, laporan terkait aksi Uber sudah masuk sejak Februari lalu bernomor 717/II/2015/PMJ/DITRESKRIMSUS tertanggal 24 Februari Uber juga dapat dijerat Pasal 28 ayat (1) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen.
Selain itu, ada juga Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena terkait segala bentuk kegiatan dan transaksi yang berhubungan dengan tindak pidana.
“Laporannya sudah lama, sejak Februari. Dilaporkan oleh Kepala Biro Hukum dan Perizinan Organda Jakarta Berman Limbong. Ia sudah dimintai keterangan. Saksi yang sudah dipanggil dari taksi legal,” terang Iqbal.
Pada Jumat (19/6), lima unit Taksi Uber ditangkap oleh petugas gabungan dari Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan Organisasi Angkutan Darat DKI.
Penangkapan dilakukan beberapa petugas dengan cara menyamar sebagai calon penumpang yang memesan Taksi Uber malalui aplikasi yang tersedia di ponsel pintar. Mereka minta dijemput di beberapa titik di Jakarta Selatan, seperti di Blok M, Jalan Sudirman, dan Kuningan.
Kemajuan Teknologi
Sementara Ketua Koperasi Transportasi Usaha Bersama Hariyanto mengakui mobil yang memanfaatkan aplikasi Uber memang bukan angkutan umum karena tidak semua orang bisa menaiki mobil itu.
Koperasi Trans Usaha Bersama sendiri merupakan mitra Uber Technology. Sebagian besar mobil-mobil serta pengemudi di perusahaan Uber merupakan anggota koperasi ini.
"Kami jelaskan bahwa Uber itu aplikasi, itu enggak bisa dikategorikan sebagai angkutan umum. Kenapa? Untuk jadi pengguna Uber, (calon pengguna) harus mengunduh aplikasi dulu, daftar dulu, dan belum tentu terverifikasi. Kemudian bayarnya pakai kartu kredit. Artinya, enggak semua orang bisa pakai," ujar Hariyanto.
Menurutnya, bukan kesalahan sopir Uber atau perusahaan Uber jika pemerintah belum memiliki peraturan terkait pemesanan transportasi dengan sarana aplikasi.
"Bukan salah teknologi yang terus berkembag cepat, tetapi UU-nya terlambat. Bukan salah kami juga. Itu salah pemerintah yang kurang tanggap memfasilitasi teknologi yang berkembang," ujar Hariyanto.
Sementara Menurut Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Benjamin Bukit, taksi Uber melanggar beberapa undang-undang tentang lalu lintas dan angkutan. Peraturan tersebut ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan
Direktur Komunikasi Uber Kawasan Asia Selatan dan India, Karun Arya menegaskan sudah memenuhi segala aturan untuk layak beroperasi. Mulai dari kewajiban membayar pajak, hingga pembuatan kantor yang mempekerjakan karyawan dari Indonesia.
"Soal pajak, kami membayar seluruh pajak di semua tempat kami beroperasi. Kami juga memastikan bahwa pengemudi mendapatkan 80% dari setiap transaksi," katanya.
Nah, jika Uber tengah diuber, maka GrabTaxi masih berseri di Jakarta. Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Emanuel Kristianto menjelaskan, ada perbedaan antara kedua layanan taksi tersebut, meski sama-sama memesan taksinya harus melalui aplikasi.
Di kacamata regulasi, Grab Taxi adalah layanan yang murni aplikasi. Dalam operasionalnya melayani penumpang, Grab Taxi masih menggunakan taksi-taksi dari operator resmi.
"Grab taxi murni aplikasi layanan taksi. Jadi kita diminta download aplikasinya, kita pesan taksi dari mereka, nanti mereka yang menghubungkannya dengan operator-operator taksi resmi," pungkasnya.(id)