JAKARTA (IndoTelko) – Maraknya layanan ridesharing ditengah kontroversi yang mengikutinya memunculkan wacana untuk mengatur inovasi tersebut dari regulator.
Namun, kendala mengatur layanan ini adalah harusnya ada koordinasi lintas sektoral yakni, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementrian Perhubungan (kemenhub), bahkan hingga Kementrian Perdagangan (Kemendag).
Kenapa Kemendag? Hal ini karena ridesharing dianggap memenuhi unsur sebagai penyelenggara layanan eCommerce jika dilihat dari model bisnisnya. (baca juga: Kontroversi Ridesharing)
“Kalau saya melihat, ridesharing ini eCommerce juga. Semua unsur eCommerce bisa mereka penuhi kok,” ungkap Ketua Umum Asosiasi eCommerce Daniel Tumiwa, kemarin.
Dijelaskannya, dari model bisnis, ridesharing memanfaatkan media elektronik, bahkan semua berjalan di aplikasi yang kebanyakan mobile only.
“Transaksi hingga proses pertemuan pengendara dan penumpang kan melalui elektronik. Bahkan di sana ada juga pembayaran dengan uang elektronik,” katanya.
Ditambahkannya, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang eCommerce tak memasukkan model bisnis ridesharing dimana hal yang sama juga terjadi bagi Online Travel Agent (OTA).
“Saya lihat RPP eCommerce masih memantau model bisnis yang sudah familiar di online. Padahal, seperti OTA ini, mereka ditentang juga di travel tradisional, tetapi sekarang bergabung dengan idEA,” katanya.
Disarankannya, untuk model bisnis yang masih baru seperti ridesharing atau OTA hal yang harus diperhatikan adalah perlindungan bagi konsumen.
”Self regulatory lebih baik. Biarkan berkembang satu atau dua tahun. Sekarang yang dituntut ke mereka baiknya jaminan keamanan menggunakan layanan yang diberikan,” pungkasnya.
Sebelumnya, (Baca juga: Indonesia butuh aturan Ridesharing) Menkominfo Rudiantara menyarankan adanya aturan terkait ridesharing di Indonesia guna mengantisipasi perkembangan teknologi.(dn)