Bursa Efek Indonesia (BEI) pada semester I 2015 lalu mencatat sebanyak 329 emiten atau sekitar 73% dari total emiten, membukukan kinerja laba positif.
Diantara emiten tersebut, ada perusahaan yang memiliki laba lebih tinggi dibandingkan pencapaian laba tahun lalu (laba komprehensif), salah satunya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom).
Telkom mencetak kenaikan laba sebesar 6,02% dari Rp 10,42 triliun menjadi Rp 11,05 triliun. Operator pelat merah ini menjadi satu-satunya perusahaan telekomunikasi yang mencatat kinerja positif sejak tahun lalu.
Indosat mengalami kerugian Rp734,59 miliar sepanjang semester I 2015 menurun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp1,53 triliun. XL selama semester I 2015 mengalami kerugian Rp 851 miliar melesat dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 445 miliar.
Pemicu utama operator mengalami kerugian adalah karena eksposur dari depresiasi rupiah.
Kajian yang dilakukan Fitch Ratings pada Juli 2015 dengan melakukan simulasi depresiasi rupiah sebesar 15%-30% terhadap dollar AS, menyatakan hanya Telkom yang selamat dari turbulensi nilai tukar kurs. Sementara XL dan Indosat dipastikan akan terganggu.
Selain itu, secara keseluruhan dalam kajian Fitch dinyatakan tak berototnya rupiah memberikan dampak terhadap arus kas, leverage, dan EBITDAR bagi emiten telekomunikasi. (Baca juga: Rupiah tak berotot, Operator Terpukul)
Dalam kajian tersebut, diperkirakan free cash-flow generation (FCF) operator di 2015 ini akan sedikit terganggu karena naiknya beban dan belanja modal karena fluktuasi kurs.
Insentif
Operator memang telah memberikan sinyal tetap melanjutkan ekspansi di tahun ini walau langkah rupiah terasa gontai menghadapi dollar AS.
Soalnya, belanja modal sudah dirancang sejak jauh hari, jika pun ada yang akan diperketat adalah beban operasional.
Hal yang wajar jika operator meminta biaya regulatory yang selama ini dibayarnya untuk bisa dipangkas pemerintah sebagai bentuk insentif yang kongkrit.(Baca juga: operator minta insentif)
Biaya regulatory itu diantaranya Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, BHP telekomunikasi, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO). Komponen ini menyumbang hampir 20% ke biaya tetap yang dikeluarkan operator setiap tahunnnya.
Hal yang menjadi pertanyaan, sanggupkan Menkominfo Rudiantara memenuhi permintaan ini? Jika membaca sinyal dari pemerintah, dalam memberikan insentif menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, masih memegang prinsip top-up bukan bottom-up.
Hal itu terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan adalah mengumumkan tax holiday bagi sejumlah sektor termasuk telekomunikasi dimana syarat investasi yang mendapatkan fasilitas ini diturunkan dari Rp 1 triliun menjadi Rp 500 miliar.
Keluarnya rencana kebijakan ini menunjukkan lemahnya posisi Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam pemerintahan untuk bisa menyakinkan Kementrian keuangan agar konsep Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi diubah dari kejar setoran menjadi insentif.
Selama Kemenkominfo terus dibebani target progresif untuk PNBP, menjadi mimpi di siang bolong adanya insentif keringanan biaya regulatory bagi operator. Hal ini karena pasokan PNBP Kemenkominfo datangnya dari komponen biaya regulatory dan lelang frekuensi.
Kalau sudah begini, silahkan pelaku usaha membuat rute penyelamatan masing-masing agar selamat dari turbulensi ekonomi. Menggantungkan harapan ke regulator telekomunikasi rasanya seperti pungguk merindukan bulan.
@IndoTelko