APJII ingin Cicipi Project Loon

Jamalul Izza (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Aksi tiga operator seluler yang menyepakati kerjasama uji coba teknis (Technical Test) dengan Google untuk penyediaan akses internet menggunakan Balon atau dikenal dengan Project Loon seperti membuka kotak Pandora sangkarut pengelolaan frekuensi dan lisensi di tanah air.

Setelah para penggiat OpenBTS minta diperlakukan sama dengan Project Loon, kali ini Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) yang berteriak untuk diikutsertakan dalam proyek yang belum proven tersebut secara komersial. (Baca juga: Suara Penggiat OpenBTS tentang Project Loon)

“Kami sangat mengharapkan agar kerjasama ini diperluas ke seluruh penyelenggara jasa Internet (PJI) Indonesia yang saat ini berjumlah tidak kurang dari 350 penyelenggara. APJII siap menjadi koordinator bagi 350 anggotanya dalam keikutsertaan ujicoba Loon Project,” tegas Ketua Umum APJII Jamalul Izza dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/10).

Diungkapkannya, sejak berdirinya APJII 19 tahun lalu, kendala mayoritas para PJI adalah infrastruktur terutama last mile untuk menyambungkan pelanggan.

Hal ini terbukti dengan porsi penyebaran trafik diantara anggota APJII dimana 70% trafik dikuasai oleh 3 operator selular sedangkan 30% trafik diperebutkan oleh lebih dari 350 operator.

“Tidak terbayangkan apabila akses penggunaan Balon Google ini hanya akan dibatasi pada 3 operator selular ini, maka ketiga operator ini akan semakin memperbesar porsi 70% nya dan semakin mempersempit kesempatan hidup lebih dari 350 operator PJI lainnya,” kata Jamalul.

Sebagai catatan, operator selular dapat menyelenggarakan jasa akses Internet dengan menggunakan ijin Penyelenggaraan Jasa Internet yang juga mereka miliki.

APJII menghimbau pemerintah agar akses terhadap media infrastruktur terobosan seperti itu dibuka seluas-luasnya ke seluruh penyelenggara tanpa perbedaan. Dengan demikian, apabila 350 operator PJI dapat menggunakannya, hal ini otomatis akan lebih mengakselerasikan pertumbuhan pengguna Internet Indonesia.

Operasi Senyap?
Di sisi lain, amat disayangkan sebenarnya fakta bahwa mayoritas PJI ini tidak diikutsertakan dalam kerjasama ini, karena pada bulan Juli 2015, APJII sudah secara langsung menanyakan ke Google mengenai keberadaan Loon Project ini untuk kepentingan anggota, namun dikatakan tidak tersedia.

Sebagai tindak lanjut, APJII siap untuk berkomunikasi aktif dengan pihak terkait seperti Kemenkopolhukam, Kominfo dan Google untuk mengusahakan equal access terhadap media teknologi baru tersebut bagi seluruh anggotanya.

Sekjen APJII Henri Kasyfi menyampaikan salah satu fokus kepengurusan APJII saat ini adalah penyediaan infrastruktur terutama last mile bagi seluruh anggota APJII.

Beberapa diantaranya, APJII mengharapkan segera diterbitkannya regulasi untuk Mobile Network Operator/Mobile Virtual Network Operator dan regulasi Open Access, agar infrastruktur operator yang sudah tergelar dapat dimanfaatkan lebih dari 350 anggota APJII secara fair untuk penyediaan akses Internet ke pengguna.

“Ini agar anggota APJII tidak perlu menggelar infrastruktur berganda sehingga dapat meningkatkan efisiensi nasional,” katanya.

Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga APJII Tedi Supardi Muslih mengungkapkan, telah mendapatkan arahan dari Deputy VII Bidang Komunikasi Informasi dan Aparatur Kemenkopolhukam, Marsda TNI Agus R. Barnas bahwa kedepannya APJII akan dilibatkan secara penuh dalam Loon Project ini.

Sekadar diketahui, Balon internet Google mengawali kiprahnya pada Juni 2013. Saat itu, peluncuran Project NZ, yang mana melibatkan 50 penguji percontohan dengan 30 armada balon.

Kemudian, pada awal 2014, tepatnya Januari, penerbangan uji pertama sistem LTE terbilang sukses. Balon secara otomatis dikembangkan dengan mengisi sistem. Pada April 2014, balon pintar ini melakukan perjalanan sejauh 500 ribu km yang dinobatkan sebagai balon pertama yang mengelilingi dunia.

Selang satu bulan, koneksi LTE pertama kali menggunakan Project Loon diselenggarakan di sebuah sekolah di masyarakat pedesaan Agua Fria, Brasil ke dunia maya. Agustus 2014, balon diluncurkan 20 unit setiap minggunya. Disediakan koneksi sehari penuh secara terus-menerus ke situs tes dalam kemitraan dengan Vodafone.

Pada April 2015, peningkatan cakupan area setiap balon sampai dengan empat kali. Kini, setiap balon dapat memiliki kecepatan navigasi 500 meter.

Google menggambarkan cara kerja balon internet itu dalam tiga tahap. Pertama, Google akan menerbangkan balon itu pada ketinggian 20 km ke stratosfer.

Begitu sampai di ketinggian tersebut, software yang telah disiapkan pada balon akan menggerakkan balon naik turun untuk menemukan angin yang tepat agar bisa mencari posisi yang pas.

Posisi yang pas ini bertujuan melancarkan perjalanan ke berbagai kecepatan dan arah di seluruh dunia. Ketika satu balon terbang ke luar jalur, maka yang lain siap untuk menggantikan tempatnya.

Begitu sudah dalam posisi yang pas, Google menuliskan, masing-masing balon akan memancarkan koneksi sinyal internet yang dihasilkan oleh antena atau BTS operator seluler Indonesia. Kemudian mendistribusikan sinyal itu menembus langit dan terkoneksi ke ponsel pengguna.

Selanjutnya, sinyal bisa memantul di antara berbagai balon dan menyelimuti area Indonesia yang dinyatakan mati. Pengguna ponsel di daratan akan bisa menerima sinyal dari balon internet itu layaknya jaringan Wi-Fi.

Dalam  balon internet yang lebih ringan dari balon biasa itu terdapat beberapa komponen, di antaranya dua transceiver radio untuk menerima dan mengirimkan data. Sebagai dukungan sistem, juga disematkan transceiver radio ketiga.

Selain itu, juga ada komponen komputer penerbangan dan pelacak lokasi GPS. Balon juga dilengkapi dengan sistem kendali ketinggian. Sistem ini digunakan untuk memindahkan balon ke atas dan ke bawah dalam menemukan angin. Semua daya peralatan dan sistem itu dipasok oleh panel surya.

The Verge menuliskan kecepatan unduhan akses internet balon pintar ini akan mencapai 10 Mbps, atau hanya 1 Mbps di bawah kecepatan rata-rata internet di AS pada Agustus 2015.

Inovasi perusahaan mesin pencari internet itu dapat terbang selama 187 hari, dengan jarak tempuh lebih dari 17 km. Jarak antar balon ke balon untuk menghubungkan data sejauh 100 km, kapabilitas peluncuran 20 balon per hari, tingkat kecepatan navigasi mencapai 500 meter per detik.

Untuk uji coba di Indonesia, rencananya akan ada 20 ribu balon menggunakan frekuensi 900 MHz milik Telkomsel, Indosat, dan XL berlangsung selama satu tahun pada 2016, di lima titik di atas Sumatera, Kalimantan, dan Papua Timur.

Kerjasama frekuensi ini menjadi pertanyaan kritis bagi banyak praktisi karena status Google tak memiliki lisensi penyedia jasa atau jaringan. Operator bisa dicap melakukan frekuensi sharing dimana di Indonesia sesuatu yang masih haram dilakukan.(id)