JAKARTA (IndoTelko) – PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menegaskan tak memandang pemain Over The Top (OTT) sebagai sebuah ancaman karena sudah menyiapkan sejumlah jurus menghadapinya.
“Kami tak melihat OTT sebagai ancaman, tetapi peluang baru yang harus digarap. Salah besar kalau ada yang anggap Telkom takut dengan OTT. Kami itu hanya mau fair in running business,” tegas Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan dalam perbincangan santai dengan IndoTelko, Kamis (11/2) pagi.
Diakuinya, fenomena yang terjadi sekarang kehadiran OTT menggerus potensi pendapatan operator Telekomunikasi (Telco) akan semakin intens.
“Namun, seharusnya Telco dengan mengandalkan keunggulan infrastruktur, sumber daya manusia dan finansial yang masih dimilikinya mempunyai peluang untuk mengambil peluang yang sama di bisnis OTT,” katanya sembari tersenyum ramah.
Menurutnya, fenomena OTT yang menjalankan layanan dimana sebagian besar gratis dengan menumpang pipa bandwidth milik Telco, disikapi berbeda-beda oleh penyedia jaringan.
“Ada yg melihat sebagai ancaman (pesimis), beberapa menganggap sebagai peluang (optimis) dan sebagian besar pasrah (realis) melihat serbuan OTT. Kalau Telkom termasuk yang optimis dan melawan balik serangan yang datang. Kita sudah ada strategi menghadapi fenomena ini jauh sebelum ramai-ramai soal OTT sekarang,” tegasnya.
Diungkapkannya, ada empat area OTT yang bersinggungan denga Telco. Pertama, OTT Voice dan OTT Messaging/Social Media seperti Skype, whatsapp, LINE, Viber, KakaoTalk, GoogleTalk, Wechat, dan Telegram. Jenis OTT ini sudah lama menggerus pendapatan suara dan sms operator.
Sedangkan dua OTT berikutnya yaitu OTT Content/Video dan OTT Cloud Computing diyakini akan menjadi OTT dengan pertumbuhan tertinggi dalam waktu dekat.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator. (Baca juga: OTT Distorsi operator)
Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa. Golongan pelaku usaha yang masuk OTT diantaranya Facebook, Twitter, atau Google.
OTT menjadi booming pada suatu negara ketika memiliki penetrasi broadband coverage yang luas dengan akses kecepatan yang memadai sekurang-kurang-nya 10 mbps. Seperti diketahui satu tahun terakhir ini Indonesia khususnya TELKOM menggelar secara massive pembangunan broadband melalui Indihome Fiber dan 4G mobile.
“Kami sedang bertransformasi untuk menangkap peluang bisnis baru tersebut. Pada saatnya nanti, Telkom tidak akan lagi disebut Telco, tapi Digital Company (Dico),” katanya.
Dikatakannya, strategi Telkom dalam menghadapi OTT pada 4 area pertarungan itu adalah di layanan suara mempertahankan jasa voice eksisting dan menawarkan kualitas yang lebih baik (cristal clear voice, dll) untuk dapat menarik minat pengguna.
Di media sosial melakukan manage retreat. Di Video/content menawarkan platform internet TV, dan mengajak konten yang haus bandwotdh menjadi salah satu konten yang disalurkan melalui platform internet TV Milik Telkom
Sedangkan di Cloud/IoT/M2M menawarkan platform cloud computing dengan mengoptimalkan infrastruktur milik Telkom. Misalnya, penggunaan data center atau solusi dari TelkomSigma.
Kedaulatan
Lebih lanjut Dian menjelaskan, salah satu yang harus dilihat dalam hubungan antara operator dengan OTT adalah masalah kedaulatan baik itu di sisi pengelolan jaringan atau mematuhi regulasi di sebuah negara.
“Kami blokir Netflix kemarin itu karena sepertinya mereka tidak memahami Indonesia dengan benar. Arogansi dan sikap meremehkan menjadi boomerang bagi kelangsungan bisnis mereka di Indonesia. Sangat naif mereka bermitra dengan Telco lokal ketika masuk negara lain, namun datang tanpa melihat kami di Indonesia" tegas Dian. (Baca juga: Telkom blokir Netflix)
Masih menurutnya, pemain global OTT content/video khususnya untuk layanan Video berbayar, sangat membutuhkan kerjasama bisnis dengan Telco lokal terutama dalam mekanisme billing ke pelanggan.
Soalnya, populasi pemilik kartu kredit dan penggunaan moda kartu kredit untuk pembelanjaan Online di Indonesia masih relatif sangat kecil. Disamping itu pemain OTT membutuhkan kerjasama penempatan content di platform Content Delivery Network (CDN) milik Telco lokal untuk kualitas layanan dan pengaturan sensorship content yang tidak diperkenankan.
"Beberapa pemain OTT content/video sedang melakukan negosiasi final dengan kami, mereka malah lebih layak dijual dan diterima pasar ketimbang Netflix. Melalui moda Tripleplay, video OTT bisa dinikmati dengan kualitas prima, harga terjangkau dan tanpa memakan bandwidth internet pelanggan. (Baca juga: Netflix perpanjang promosi)
Diharapkannya, semua pihak bisa melihat lebih jernih fenomena OTT dengan mempunyai kesatuan pandangan bahwa negara dan bangsa harus berdaulat atas pendayagunaan internet untuk kepentingan bangsa yang meliputi seluruh aspek Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan.
“Harap diketahui, sebagian besar pemain OTT bermarkas di Amerika, kita tentunya tidak bisa meniru secara ekstrim seperti Tiongkok yang tidak mengijinkan Facebook, Google, Amazon, PayPal dan mengganti dengan QQ, Baidu, Alibaba, Alipay, namun paling tidak ada pendekatan jalan tengah yang juga memberdayakan pemain-pemain OTT lokal untuk kedaulatan NKRI,” tutupnya.
Sekadar diketahui, Telkom menjadi perbincangan tak hanya di Indonesia, tetapi di media global pasca keberaniannya memblokir Netflix mulai 27 Januari 2016 di jaringannya karena dianggap tak memenuhi regulasi di Indonesia.
Pasar saham di Amerika Serikat merespons dengan sempat turunnya saham Netflix. Sementara di Indonesia saham Telkom hingga 5 Februari 2016 menunjukkan penguatan dengan bermain di Rp 3.500 per lembar.(id)