Menakar Nasib Uber dan Grab Pasca 1 Juni 2016

Ilustrasi (dok)

Pemerintah akhirnya menunjukkan kehadirannya bagi pemangku kepentingan transportasi nasional dalam menyikapi kehadiran layanan moda berbasis aplikasi (Ridesharing) yang dijalankan Uber dan Grab.

Pemerintah menegaskan layanan yang diberikan Uber dan Grab selama ini ilegal karena tak memenuhi UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Kedua pemain ridesharing diberikan batas waktu dua bulan atau hingga 1 Juni 2016 untuk memenuhi semua aturan yang ada di regulasi transportasi. Selama masa transisi, kedua pemain tak diijinkan melakukan ekspansi.

Uber dan Grab telah mengeluarkan sinyal hanya menjadi pemain aplikasi. Konsekuensinya, kedua pemain ini mendorong mitranya untuk membereskan isu-isu terkait perizinan, mulai dari pembentukan badan usaha, Uji Laik Kendaraan atau KIR, pembangunan depo, dan lainnya.

Tantangan
Waktu yang pendek dengan sederet pekerjaan berat, akankah mitra Uber dan Grab dapat memenuhi regulasi?

Jika melihat karpet merah yang digelar pemerintah bagi kedua aplikasi yang dominan disokong pemodal asing, rasanya tak ada masalah. Lihat saja, hanya dalam hitungan hari, pembentukan badan koperasi bisa selesai bagi para mitra.

Kerikil mungkin dirasakan nanti dalam pematangan organisasi. Apakah semua mitra pengemudi per orang mau bergabung dalam Koperasi dimana hak dan kewajiban tersedia. Persatuan Pengusaha Rental Indonesia (PPRI) sebagai mitra Uber telah menyatakan anggota harus membayar iuran Rp1,8 juta per tahun.

Kerikil lainnya adalah pemenuhan hal teknis, seperti pembangunan depo, pembuatan SIM B Umum, penentuan tarif, serta Uji KIR.

Tantangan lainnya adalah mengakali izin angkutan rental yang dimiliki dengan konsep Location Based Service dalam mendapatkan penumpang.

Praktik selama ini proses mendapatkan penumpang bagi mitra Uber atau Grab berbasis lokasi dari supir. Artinya, jika menjadi angkutan rental, mobil tak bisa keluar dari Pool sebelum ada panggilan. (Baca juga: Mitra Ridesharing)

Tentunya ini tak memberikan kenyamanan lagi bagi penumpang yang terbiasa langsung mendapatkan layanan Uber dan Grab ketika melakukan pemesanan.

Pasar Berkurang
Jika dilihat di Singapura yang berhasil menghadirkan equal playing field antara ridesharing dengan taksi konvensional melalui aturan yang sehat, ternyata regulasi tak menguntungkan bagi Uber dan Grab.

Pemerintah Singapura melegalkan ride sharing dengan memberikan sertifikat untuk mengoperasikan taksi online selama tiga tahun, berdasarkan aturan Penyedia Layanan Taksi Pihak Ketiga.

Para supir dan penyedia aplikasi taksi harus tunduk pada regulasi transportasi dan mengantongi izin taksi, seperti halnya pengemudi taksi profesional. Para supir juga harus bekerja dengan koperasi yang memiliki anggota minimal 20 mobil.

Hasilnya, ternyata faktor disruptive berkurang ketika regulasi hadir. Dikutip dari Bloomberg, salah satu pemain taksi konvensional di Negeri Singa, ComfortDelGro Corp Ltd,  kembali menuai keuntungan dan tercatat sebagai perusahaan dengan bullish paling tinggi di indeks MSCI Asia Pacific Excluding Japan.

Setahun lalu ketika bisnis Uber dan Grab masuk ke Singapura, saham ComfortDelGro jatuh ke level 2.877. Saat ini, saham perusahaan ini sudah berada di level 2.980.

Berdasarkan data Nomura, insentif ke mitra supir Uber dan Grab turun 43%  dibanding kuartal III 2015. Keduanya kini diestimasi hanya punya 7% pangsa pasar di Singapura.

Uber dan Grab kabarnya tak lagi menggenjot mitra supir, tetapi fokus menaikkan profitabilitas alias meningkatkan kapasitas taksi yang tersisa pada keuntungan dari kenaikan harga. (Baca juga: Tantangan bagi Uber dan Grab)

Belajar Banyak
Pemerintah sebaiknya mau belajar banyak dari cara-cara negara lain mengelola bisnis ridesharing.

Cukup sudah memberikan karpet merah bagi pemain ridesharing. Kewajiban teknis harus dipenuhi oleh para pemain ini agar pebisnis transportasi yang sudah lebih lama berjuang benar-benar merasakan pemerintah itu ada untuk semua pemangku kepentingan.

Benar, kita tak bisa menolak kehadiran teknologi yang membuka model bisnis sharing economy. Tetapi apakah sharing economy ini masa depan dari perekonomian atau sekadar gelembung yang rapuh nantinya?

Harap diingat, di belakang model  bisnis sharing economy adalah pemodal besar yang hanya peduli dengan capital gain dan selalu berhasil lolos dari kejaran kewajiban regulasi. (Baca juga; Kontroversi Taksi Online)

Saatnya kita semua merapatkan barisan agar tak mengalami penjajahan dalam bentuk baru di era ekonomi digital.

@IndoTelko