Parasit. Inilah istilah dari sejumlah eksekutif operator kala menanggapi kehadiran pemain Over The Top (OTT) dengan aplikasinya sejak beberapa tahun lalu.
OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.
Ada empat area OTT yang bersinggungan dengan Telco. Pertama, OTT Voice dan OTT Messaging/SocialMedia seperti Skype, whatsapp, LINE, Viber, KakaoTalk, GoogleTalk, Wechat, dan Telegram. Jenis OTT ini sudah lama menggerus pendapatan suara dan sms operator.
Sedangkan dua OTT berikutnya yaitu OTT Content/Video dan OTT Cloud Computing diyakini akan menjadi OTT dengan pertumbuhan tertinggi dalam waktu dekat.
Operator sudah lama berteriak ke pemerintah untuk membantu menertibkan aksi para parasit tersebut, khususnya pemain asing yang bisa melenggang masuk ke pasar lokal dan terbebas dari sejumlah kewajiban. (Baca juga: OTT Distorsi Operator)
Sejak 2013, sudah dirancang akan keluarnya sebuah aturan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menjerat para parasit ini, tetapi tarik ulur dan masalah teknis serta non teknis menjadikan beleid tak pernah kelar. (Baca juga: Aturan OTT molor)
Namun, pada akhir Januari 2016, sebuah aksi dari Telkom Grup menyentakkan semua pihak. Operator pelat merah ini berani memblokir layanan streaming video milik Netflix karena dianggap melanggar sejumlah aturan di Indonesia.
Menkominfo Rudiantara menunjukkan dukungan terhadap aksi Telkom dan kembali menggulirkan wacana untuk mengatur aksi OTT asing di Indonesia. (Baca juga: Telkom Blokir Netflix)
Sejatinya, aturan untuk OTT ini keluar pada akhir Maret 2016 mengingat sejumlah rapat dan penyerapan aspirasi telah dilakukan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Kemenkominfo sejak sebulan lalu.
Entah kenapa, pada 31 Maret 2016, Rudiantara menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui internet (OTT). (Baca juga: SE OTT)
Lebih Ketat
Memang, dalam SE tersebut tercantum sejumlah aturan yang lumayan ketat akan menjerat OTT. Mulai dari kewajiban mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT), urusan penapisan, penggunaan payment lokal, hingga isu penyadapan.
Bagi sebagian kalangan SE ini masih longgar. Pasalnya, ada yang menginginkan OTT dianggap sebagai penyedia jasa telekomunikasi sehingga bisa diminta kewajiban pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) jasa telekomunikasi setelah diberi lisensi.
Rudiantara sepertinya masih realistis dengan menggunakan light touch regulation yakni menginginkan adanya BUT agar sejumlah kewajiban seperti pembayaran pajak dan lainnya tak lari dari Indonesia.
Pertanyaan besarnya, kenapa Rudiantara tak langsung saja menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) dan terkesan mengulur waktu dengan mengeluarkan SE?
Alasan masih ingin menyerap aspirasi publik, rasanya tak bisa diterima karena proses sudah berjalan sebulan lebih. Makin lama kita membuang waktu, semakin dalam kerugian yang diderita karena potensi ekonomi digital terus dikeruk oleh asing.
@IndoTelko