Membuka Kotak Pandora OTT Asing

Ilustrasi (dok)

Indonesia sepertinya mulai serius mengejar kewajiban pemain Over The Top (OTT) asing terhadap masalah perpajakan di Tanah Air.

OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.

OTT asing yang lumayan mengeruk keuntungan dari gempitanya penetrasi internet di Indonesia adalah Facebook, Google, Yahoo, dan Twitter. Kabarnya, tahun lalu ada dana sekitar US$ 830 juta hasil bisnis iklan digital dimana Facebook dan Google paling besar menikmatinya di Indonesia.

Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro telah membuka  status raksasa bisnis digital global tersebut di Indonesia, ada yang sudah berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) atau sekadar kantor perwakilan alias representative office (rep office).

Hal yang mengejutkan adalah kenyataan bahwa Facebook sudah terdaftar di KPP Badan dan Orang Asing, namun hanya sebagai rep office dari Facebook di Singapura. Facebook terdaftar sebagai rep office di Indonesia sejak 10 Februari 2014.

Dalam menjalankan usahanya, Facebook bertindak sebagai dependent agent dari Facebook Singapura. Penghasilannya otomatis termasuk jasa periklanan, seharusnya masuk menjadi bagian dari PPH Indonesia. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan khusus untuk Facebook.

Dalam kalkulasi Ernst & Young, sekitar 22% pendapatan Facebook Asia Pasifik berasal dari Indonesia. Pada tahun 2015, Facebook di Asia Pasifik mendapatkan pendapatan hingga US$846 juta. Ini menjadikan Indonesia berkontribusi US$193 juta bagi pendapatan Facebook. Pengguna Facebook di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 70,6 juta, naik 17% dari tahun sebelumnya yang 60,3 juta pengguna.

Investigasi terhadap status badan hukum dari empat OTT asing itu seperti membuka kotak Pandora dari cara berbisnis mereka selama ini di Indonesia. (Baca juga: Status OTT Asing)

Selama ini sejumlah pihak sudah mengingatkan gejala adanya penjajahan digital (Digital Colonization) yang menyerang sejumlah negara berkembang berkedok memangkas digital dividend atau mendukung net neutrality.

Tiongkok bisa dikatakan negara yang paling waspada dan bisa menyerang kembali para “penjajah” dengan memasang Great Wall di bisnis internet.

Uni Eropa sekarang juga sudah mulai  sadar dengan banyak mengulik model bisnis Facebook atau Google. Terbaru, dilansir The Wall Street Journal mengungkap Uni Eropa tengah melakukan penyelidikan pada bisnis iklan yang diluncurkan secara terpisah dari mobile oleh Google. (Baca juga: Kiprah Parasit)

Regulator Eropa akan melihat apakah Google telah membatasi pasar untuk aplikasi dan layanan dengan "membutuhkan" pembuat perangkat untuk mendukung produk sendiri. Tak berhenti disitu, nantinya juga akan dilihat apakah Google telah membatasi penetrasi platform alternatif berbasis Android. (Baca juga: Mengejar OTT asing)

Diharapkan pemerintah tak hanya berhenti di empat OTT asing itu dan masalah pajak saja, tetapi bisa membongkar semua praktik yang tak sehat dalam berbisnis sehingga negeri ini benar-benar berdaulat di era digital.

@IndoTelko