Sudah Era 4G, Kok Masih Jualan ala 3G?

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Indonesia yang mulai memasuki era 4G sejak beberapa tahun lalu ternyata belum berubah model pemasaran dari operatornya.

Setidaknya itu yang dirasakan oleh Wakil Direktur Utama Tri Indonesia Muhammad Danny Buldansyah.

“Saya akui awareness dari 4G di masyarakat sejak operator seluler meluncurkannya di frekuensi 1.800 Mhz makin tinggi. Hanya saja saya ada saran buat industri lebih sehat, jangan sampai 4G dijual dengan harga gratis. Ini teknologi lebih baik dan cepat, tapi dijual lebih murah dari teknologi lama yang lebih lambat. Kita harus ubah cara berfikir memasarkannya,” katanya kala menjadi pembicara di Indonesia LTE Conference, belum lama ini.

Presiden Direktur & CEO XL Axiata Dian Siswarini mengungkapkan sejauh ini yang sudah didapat setelah implementasi 4G adalah satu fenomena luar biasa dimana awareness 4G didapat lebih cepat dari yang diperkirakan.

“Dibandingkan dengan implementasi 3G adopsi, 4G lebih cepat. Sudah ada 20 juta pemakai handset 4G di industri. Dari sisi handset sudah banyak yang terjangkau, di bawah US$ 100 dan banyak buatan dalam negeri. Ini membantu dalam adopsi 4G,” katanya.

Menurut Dian, karena masih dalam taraf awareness, tak semua handset 4G yang beredar punya Usim (Sim Card 4G) di dalamnya, ini terjadi di 40% -50% perangkat.

“Yang punya sim card pun belum punya paket 4G di dalamya. Jadi dari mulai pengguna data, pengguna smartphone, pengguna USIM, pengguna paket masih menyempit ke bawah. Ini merupakan unfinished business atau PR yang harus dikerjakan bersama,” katanya.

Ditambahkannya, di masa transisi yaitu perubahan penggunan voice dan SMS jauh berkurang, berganti dengan aplikasi, sebagai operator tentu menjadi dilema memahami dan mengantisipasi perubahan.

“Apakah kita akan bertahan dengan tradisional bisnis (termasuk pola pemasaran) lebih lama atau akselerasi perpindahan tersebut,” katanya.

Sementara Presiden Direktur Smartfren Telecom Merza Fachys menilai, masih terbawanya rasa penjualan 2G atau 3G di 4G karena mindset kala membangun jaringan masih terpengaruh oleh teknologi lama.

Simpel

Sementara Menkominfo Rudiantara mengingatkan ke operator di era 4G untuk tak memberikan skema penawaran yang membuat masyarakat pusing.

“Nanti ke depan bicaranya data, jangan lagi berpola pikir 2G, keluar X rupiah dapat berapa menit bicara,” sindirnya.

Menurutnya, dalam menetapkan harga ritel ke pelanggan, operator wajar memiliki ruang mendapatkan margin. “Masyarakat menginginkan kualitas bagus dan near free services. Operator jangan ambil margin berlebihan tapi harus ada faktor kompetisi, sehingga ada pilihan bagi masyarakat. Saya tidak akan pernah mengeluarkan kebijakan floor atau ceiling price. Kita sedang mencari metode sederhana,” katanya.

Lebih Cerdik

Pada kesempatan sama, Pengamat telekomunikasi Raherman Rahanan menyarankan operator untuk lebih cerdik memanfaatkan 4G dengan tak hanya fokus ke pasar ritel.

“Sejauh ini terlalu fokus jualan 4G ke pasar pelanggan individual yang berorientasi kepada smartphone. Padahal ada pelanggan lain seperti korporat. Kalau bisa  dikembangkan Corporate LTE devices untuk service seperti Corporate Back-Haul, Mobile ISP, dan lainnya akan mendapatkan Average Revenue Per User (ARPU) yang tinggi,” katanya.

Dikatakannya, jika operator fokus kepada potensi pelanggan dalam memasarkan 4G, belanja modal bisa dihemat karena tak harus buru-buru menggelar 4G secara nasional.

“Pelanggan individu tidak peduli 3G atau 4G, dan umumnya pengeluaran pulsa sudah ditentukan, misal per bulan Rp 100 ribu. Itu rame-rame Pakai aplikasi kan dalam persepsinya ingin menekan pengeluaran,” katanya.

Lebih lanjut dikatakannya, migrasi pelanggan individual ke 4G agak lamban karena masih ada ketakutan layanan belum prima dan akan kesulitan untuk kembali ke 2G atau 3G.

“Operator memang harus promosi untuk 4G dengan paket lebih murah. Kalau tidak ada promosi, taka da insentif mencicipi,” tutupnya.(id)