JAKARTA (IndoTelko) –Pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) disarankan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait penurunan biaya interkoneksi.
“Kalau penurunan biaya interkoneksi itu drastis dan tak asimetris, pelanggan atau operator telekomunikasi akan dirugikan,” ungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, di Jakarta, Kamis (26/5)
Dijelaskannya biaya interkoneksi adalah salah satu komponen dari tarif retail. Saat ini tarif interkoneksi yang diberlakukan di Industri hanya dibawah 20% dari tarif retail lintas operator yang dibayarkan oleh pelanggan. Kisaran biaya interkoneksi Rp 250 terhadap tarif retail lintas operator Rp 1500. Sedangkan formula tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin. (Baca juga: Perang tarif karena interkoneksi)
“Biaya interkoneksi itu harga dasar jaringan. Jadi, kalau pemerintah ingin menurunkan tarif pungut ke pelanggan, tak akan signifikan itu dengan memangkas biaya interkoneksi. Sejak tahun 2008, penurunan biaya interkoneksi tidak pernah berdampak kepada tarif off nett retail,” tegasnya.
Menurutnya, jika pemerintah memaksa penurunan secara drastis, dalam jangka panjang akan berdampak kepada tidak mampunya operator melakukan re-investasi mengembangkan jaringan dan pelanggan juga tak bisa menikmati biaya murah dalam penggilan ke sesama nomor operator (On nett). Soalnya, panggilan ke sesama nomor operator mendominasi jaringan selama ini. Hal itu bisa terlihat dari besaran pembayaran biaya interkoneksi kurang dari 20% pendapatan operator.
“Demi kesinambungan industri, biaya interkoneksi sebaiknya disesuaikan dengan biaya investasi masing-masing operator. Sesuai dengan pernyataan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) bahwa hasil perhitungan biaya interkoneksi yang berbeda-beda tidak dapat diimplementasikan justru dapat memicu ketidakadilan dalam industri karena akan ada operator yang diuntungkan apabila biaya aktual investasi jaringan lebih rendah daripada biaya interkoneksi yang diperoleh dari operator lain, sebaliknya operator akan dirugikan apabila tarif interkoneksi yang diimplementasikan dibawah biaya jaringan operator tersebut,” katanya.
Diingatkannya, kalau pemerintah memaksakan penurunan tanpa melihat kondisi lapangan, revisi biaya interkoneksi bukan menjadi insentif tetapi turbulensi bagi industri.
“Saya akui Kemenkominfo banyak melontarkan wacana terobosan di industri telekomunikasi. Tetapi kalau tak forward looking dan hanya melihat jangka pendek, bisa tak sustain juga. Misalnya, wacana network sharing yang semangatnya efisiensi tetapi tak melihat potensi melabrak UU Anti Monopoli,” tutupnya.
Sekadar diketahui, biaya interkoneksi adalah komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Formula perhitungan biaya interkoneksi ditetapkan oleh Pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator. (Baca juga: Tarik menarik biaya interkoneksi)
Selanjutnya Hasil perhitungan akan disetujui oleh BRTI. Hal ini untuk mencegah operator tujuan memberlakukan tarif interkoneksi yang tinggi yang tidak sesuai dengan biaya investasi jaringannya. Kenaikan dan penurunan biaya interkoneksi biasanya tergantung pada apakah industri masih melakukan perluasan coverage atau tidak.
Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara menyatakan perhitungan biaya interkoneksi terbaru sudah final dengan besaran penurunan di kisaran 20%. (Baca juga: Rudiantara sosialisasikan biaya interkoneksi)
Diungkapkannya, dalam menghitung biaya interkoneksi juga dilihat rekam jejak penurunan yang terjadi selama ini. “Kalau diliat ke belakang, penurunan tak double digit. Saya pinginnya double digit, bisa maksimal 20%-lah. Soalnya kalau lihat biaya teknologi sejak 2006, harusnya turun 50%,” papar Rudiantara.(id)