Pemerintah harus evaluasi operator sebelum tentukan penurunan biaya interkoneksi

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah disarankan untuk mengevaluasi dan melihat kondisi  pembangunan jaringan yang dilakukan operator telekomunikasi sebelum memutuskan besaran penurunan biaya interkoneksi.

“Saya dengar sudah ada angka final penurunannya yang dianggap disepakati pemerintah dan operator, seperti diberitakan banyak media. Menurut saya, angka itu masih bisa dikoreksi jika pemerintah dengan benar melihat kondisi di lapangan, tak sebesar itu penurunan seharusnya,” tegas Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, kemarin.

Diingatkannya, di Indonesia tak bisa diterapkan regulasi  asimetris seperti banyak yang disuarakan sebagian operator. “Regulasi asimetris hanya diterapkan jika ada operator baru. Di Indonesia, operatornya praktis mulai bersama-sama sudah lebih dari 10 tahun yang lalu,” ungkapnya.

Ditambahkannya, asumsi operator baru harga jaringannya lebih mahal juga tidak berlaku di Indonesia karena operator kecil harga jaringannya lebih murah karena tidak membangun. “Idealnya daalah biaya interkoneksi disesuaikan dengan biaya jaringannya masing-masing. Mumpung belum jadi Peraturan Menteri, baiknya dipertimbangkan. Tarif asimetris bukan regulasi asimetris solusinya,” tutupnya.

Biaya interkoneksi adalah salah satu komponen dari tarif retail.  Saat ini tarif interkoneksi yang diberlakukan di Industri hanya dibawah 20% dari tarif retail lintas operator yang dibayarkan oleh pelanggan. Kisaran biaya interkoneksi Rp 250 terhadap tarif retail lintas operator Rp 1500. Sedangkan formula tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin. (baca juga: penurunan biaya interkoneksi)

Kabar beredar mengatakan penurunan biaya interkoneksi sekitar 20%-26%. Dalam riset yang dilakukan Citi Group jika terjadi penurunan sebesar itu, XL akan paling menderita dari sisi kinerja keuangan. (Baca juga: aturan biaya interkoneksi)

Anak usaha Axiata ini diprediksi akan mengalami penurunan laba tahun 2017 sekitar 7%. Hal ini dikarenakan XL memiliki pendapatan dari interkoneksi yang relatif lebih besar dibandingkan kedua operator lain (Telkom dan Indosat) dan posisinya sebagai penerima interkoneksi (net receiver). Sedangkan bagi Telkom dan Indosat dampak penurunan biaya interkoneksi tidak terlalu signifikan dan perubahan pendapatan masing-masing hanya berkurang 0,9% dan 0,2%.(id)