Operator tak perlu takut dengan OTT

Guntur S Siboro (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Operator telekomunikasi disarankan tak perlu takut dengan pemain Over the top (OTT) karena ruang untuk tumbuh di era rich content lumayan besar.

“Sebenarnya OTT tidak perlu jadi momok yang menakutkan bagi operator karena OTT sebenarnya hanyalah enabler saja. Tanpa jaringan operator bagaimana mau jalan aplikasi atau layanan OTT. Power dari operator tetap besar di era rich content,” kata Country Head of HOOQ Indonesia Guntur Siboro, belum lama ini.

Menurutnya, ditambah dengan dukungan pemerintah yang akan mengeluarkan aturan tentang OTT, tentunnya ruang tumbuh antara operator dan pemain aplikasi makin besar. “Tetapi saya pesan satu saja untuk aturan yang dirancang itu, kalau pakai yang di Rancangan Peraturan Menteri (RPM), itu banyak bolongnya dan malah bikin bingung pemain OTT. Semoga nanti bisa diperbaiki dan mendengar masukan banyak pihak sebelum disahkan,” katanya.

OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.

Ada empat area layanan OTT yang bersinggungan dengan operator. Pertama, OTT Voice dan OTT Messaging/Social Media seperti Skype, whatsapp, LINE, Viber, KakaoTalk, GoogleTalk, Wechat, dan Telegram. Jenis OTT ini  sudah lama menggerus pendapatan  suara dan sms operator. Sedangkan dua OTT berikutnya yaitu OTT Content/Video dan OTT Cloud Computing diyakini akan menjadi OTT dengan pertumbuhan tertinggi dalam waktu dekat.

Perlu perbaikan
Secara terpisah, Chairman Mastel Institute Nonot Harsono menyarankan RPM tentang OTT diperbaiki secara maksimal sebelum disahkan pada Juni mendatang. (Baca juga: Aturan untuk OTT)

“Isu white list untuk konten belum dimasukkan. Ada filosofi di RPM itu yang masih menyebut konten bukan aplikasi. Selain itu tak tegas kriteria aplikasi yang menggantikan fungsi layanan telekomunikasi (suara/SMS) ,” katanya.

Menurutnya, jika tujuan dari aturan adalah menertibkan administrasi dari OTT, maka bagi yang bermotif bisnis memang harus jelas bentuk badan usahanya. Tetapi bagi yang bermotif non bisnis cukup memperhatikan aspek norma sosial. “Kalau yang motifnya bisnis wajib itu lapor pendapatan dan operasional lainnya ke regulator,” tegasnya.

Sedangkan Presiden Direktur  & CEO XL Axiata Dian Siswarini menegaskan pembentukan badan usaha tetap adalah solusi adanya kejelasan kewajiban OTT ke negara. “Kalau kerjasama dengan operator memang PPn sudah kita selesaikan, tetapi pajak badan kan belum. Kalau mereka BUT, sudah clear semua,” tutupnya.(id)