JAKARTA (IndoTelko) – Hasil studi “Indonesia’s Data Center Market Overview and Forecasts 2014 – 2020”, yang diadakan oleh DCD Intelligence (DCDi) sebagai bagian dari inisiatif Global Data Center Census mengungkapkan dalam empat tahun mendatang Indonesia membutuhkan lahan untuk data center mencapai hingga 375.000 meter persegi atau meningkat 29% dari proyeksi kebutuhan di tahun 2016 sejumlah 290.000 meter persegi.
Hasil studi memperkirakan bahwa nilai investasi total secara keseluruhan para perlengkapan dan solusi data center di Indonesia akan mencapai hingga US$ 850 juta di tahun 2020, atau terjadi kenaikan lebih dari 70% jika dibandingkan dengan perkiraan nilai investasi di tahun 2016.
Ruang pertumbuhan masih besar dan Indonesia baru dalam tahap adopsi awal di data center, tetapi sebuah kenyataan mengejutkan diungkap Telkomsigma, perang tarif ala industri seluler mulai menjalar ke bisnis ini. (Baca juga: Potensi bisnis data center)
“Perang tarif mulai terjadi di bisnis data center. Banyak pemain memanfaatkan ketidakpahaman dari pengguna tentang spesifikasi, teknologi, dan Tiering, akibatnya perbandingan tarif menjadi tak apple to apple antara penyedia data center oleh calon pelanggan,” ungkap Presiden Direktur Telkomsigma Judi Achmadi, kemarin.
Dicontohkannya, Telkomsigma yang meraih sertifikasi dari Uptime Institute untuk kategori Tier Certification for Constructed Facilities (TCCF) bagi data center di Serpong, tentu hal yang wajar menawarkan biaya berlangganan sekitar US$ 22 ribu per rak, per tahun.
“Kita ini ibarat mobil, tawarkan naik Mercedes. Lalu ada penyedia yang merayu calon pelanggan dengan banting harga hampir 20%, mengaku sudah Tier 3 juga dari Uptime. Ini kan gak sebanding, di Indonesia baru Telkomsigma dapat sertifikat TCCF. Jadi, Mercedes dibandingkan bajaj, terus diadu harga, ya sudah tak rasional,” sesalnya.
Sekadar informasi, Uptime Institute sendiri adalah organisasi yang memberikan sertifikasi dengan sistem tier-ing. Dimana standar yang ditetapkan oleh Uptime ini menjadi standar bagi pelaku bisnis data center di seluruh dunia.
Lembaga ini yang pertama mendefinisikan konsep Data Center Tier, sebagai acuan badan standarisasi lain seperti Telecommunications Industry Association.
Uptime membagi sertifikasi Data Center tersebut menjadi 3 tahapan yaitu Tier Certification of Design Documents (TCDD), Tier Certification of Construction Facilities (TCCF), dan Tier Certification of Operational Sustainability (TCOS). Di Indonesia memang banyak pemain data center mengantongi sertifikasi TCDD, namun sejauh ini baru Telkomsigma yang sudah ke TCCF.
VP Enterprise and Wholesales Data Center Sales Telkomsigma Alexander Chandra mengharapkan, perusahan yang akan mengadopsi cloud computing melihat lebih jeli layanan data center yang ditawarkan ke pasar.
“Penelitian dari IDC menyatakan perusahaan-perusahaan menghabiskan sekitar 70-80% dari budget Teknologi Informasi (TI) tahunan mereka hanya untuk menjaga sistem tetap berjalan. Pilihlah yang berkualitas, karena infrastruktur TI itu sudah menjadi enabler bukan pelengkap bisnis,” katanya.
Perkuat Diferensiasi
Pada kesempatan sama, Country Director Frost & Sullivan Indonesia Spike Choo menyarankan penyedia data center harus memperkuat diferensiasi untuk memenangkan persaingan.
“Harga itu hanya salah satu komponen dalam penawaran data center. Selain itu ada teknologi, kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), pasokan listrik, dan lainnya. Biasanya pemain yang mengandalkan harga murah untuk bersaing karena tak punya diferensiasi yang kuat di komponen lain,” ulasnya.
Disarankannya, pemain data center di Indonesia tidak terjebak dalam perang harga karena seiring dengan pembangunan infrastruktur fisik dibutuhkan juga infrastruktur TI. “Indonesia tengah bangun transportasi massal, itu butuh dukungan TI , misalnya data center selama 24 jam/7 hari. Artinya TI akan menjadi national infrastructure critical. Anda berman harga sekarang, gimana mau re-investasi,” sarannya.
Diakuinya, untuk menjalankan bisnis data center di Indonesia tak semudah di Singapura atau Hongkong. “Di kedua negara itu biaya lahan mahal, tetapi pasokan listrik dan koneksi internet lumayan mumpuni. Indonesia baru sebatas murah di lahan, sehingga di sisi operasional lumayan mahal,” tutupnya.(dn)