JAKARTA (IndoTelko) – Penawaran Rp 1 bagi layanan suara yang ditawarkan Indosat Ooredoo untuk area luar Jawa dinilai merusak kompetisi di pasar seluler karena cenderung berbau predatory pricing.
“Salah satu ciri dari predatory pricing itu adalah menjual di bawah harga produksi untuk mematikan pesaing. Kalau kita lihat laporan keuangan kuartal pertama 2016 dari tiga pemain besar (Telkomsel, Indosat, dan XL), aksi Rp 1 sudah berbau predatory pricing dan merusak bisnis seluler dalam jangka panjang,” ungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi di Jakarta, Jumat (24/6).
Dalam analisanya dengan menggunakan data Info Memo keuangan milik tiga operator besar di triwulan pertama 2016, pendapatan per menit dari layanan suara untuk Indosat Rp 136,7 , Telkomsel (Rp 168,5/menit), dan XL (Rp 213,4/menit). Sementara pemberlakukan tarif Rp1 per detik akan menghasilkan harga Rp 60 per menit ke operator lain (Off net), hal yang sama juga bagi panggilan sesama nomor Indosat (on net).
Demi tarif Rp1 ke seluruh operator, Indosat diperkirakan harus rugi Rp190/menit karena Indosat memberikan tarif retail dibawah biaya interkoneksi Rp 250/menit. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lebih kurang enam bulan.
“Dari data diatas terlihat dengan pendapatan per menit sebesar Rp136.7 di kuartal I 2016, Indosat belum untung, apalagi kalau menjual Rp 60 per menit? Kekuatan modal yang kuat dari induk usaha (Ooredoo) kemungkinan akan mensubsidi tarif agar dibawah biaya dengan tujuan menggeser pesaing keluar dari pasar. Praktek-praktek anti persaingan ini yang harus dicermati regulator,” sarannya.
Ditambahkannya, jika mengacu pada laporan keuangan di triwulan pertama 2016, Telkomsel memiliki pendapatan per menit di bawah XL. Kesimpulannya, Telkomsel walaupun banyak membangun di luar Jawa dan pelosok negeri hingga perbatasan, tarifnya masih lebih rendah dari XL yang hanya membangun di daerah yang menguntungkan.
“Anda harus tahu, bangun di area yang kurang menguntungkan itu ada masa kerugian sebelum BTS dapat memperoleh keuntungan. Tarif Rp 1 itu sudah berjalan lima bulan. Sepertinya rencana akuisisi sejuta pelanggan yang didengungkan tak berhasil, akhirnya keluarlah kampanye yang dianggap negatif itu,” katanya.
Sebelumnya, industri seluler heboh dengan aksi Indosat yang melakukan kampanye negatif menyerang skema tarif milik Telkomsel di luar Jawa. (baca juga: Indosat serang tarif Telkomsel)
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU Syarkawi Rauf mengaku akan mendalami implementasi tarif Rp 1/detik milik Indosat ini.
“Kita mau lihat harga ini wajar baik dari sisi periklanan? Kalau logika iklan ada perhitungannya sendiri. Atau ini jual rugi untuk merusak pasar? Kalau iya maka itu masuk dalam indikasi pelanggaran. Tapi kita akan mendalami lagi, termasuk predatory pricing atau tidak," katanya.
President Director & CEO Indosat Alexander Rusli dalam pertemuan dengan media menjelaskan penerapan Rp 1 bagi panggilan suara untuk membuat simplifikasi di pasar. “Pesaing kan skema tarifnya ribet. Kita kasih yang sederhana semua Rp 1. Jika skenario pelanggan berhasil diakuisisi, maka terjadi cross subsidi antara pendapatan dari on nett ke off net,” jelasnya.
Sedangkan Ketua Pengurus Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan dalam melihat penawaran operator telekomunikasi kualitas berbanding lurus dengan harga atau tarif. "Jangan sampai tarif murah tapi kota besar yang mendapat layanan, sementara daerah pelosok blank spot," katanya.(id)