Telkom Group tak pantas ributkan soal interkoneksi

Teknisi Telkom di tiang telepon (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dan anak usahanya, Telkomsel, dinilai tak pantas meributkan penurunan biaya interkoneksi karena memiliki potensi besar menjalankan bisnis sebagai backbone nasional.

“Jika direksi Telkom dan regulator paham konsep negara, maka Telkom tidak akan bermain atau bersaing di level rendah seperti sekarang. Tetapi dia akan bermain sebagai backbone atau pemilik jalan Tol broadband nasional yang tak tertandingi. Semua trafik akan lewati jalan Tol nasional milik Telkom sehingga tidak bingung lagi mengejar revenue dari trafik transit interkoneksi,” ungkap Chairman of Mastel Institute Nonot Harsono dalam pesan singkatnya kepada IndoTelko, Senin (27/6).

Menurutnya, selama ini Telkom meributkan bisnis transit interkoneksi yang remeh-temeh. “Kalau Telkom mau menjadi backbone nasional maka tidak akan ada lagi keributan interkoneksi dan kegaduhan seperti saat ini (Telkomsel vs Indosat). Semua trafik dari operator yang lain, baik selular ataupun penyedia jasa internet akan melewati jalan Tol milik Telkom, tidak hanya transit, tapi menetap 24/7 selamanya,” katanya.  

Ditambahkannya, jika konsep jalan Tol broadband diimplementasikan, emiten Halo-halo ini tinggal menetapkan margin yang diinginkan dan negara terbantu karena impor perangkat berkurang, kinerja usaha lebih sehat, tidak boros devisa, penggelaran akses lebih ramai, e-gevernment berjalan, dan manfaat broadband akan terasa.

“Kunci sukses dari konsep ini adalah adanya jaminan trafik semua lewat Telkom. Selain itu juga ada regulasi soal penggunaan dana Universal Service Obligation (USO) untuk biaya bandwidth dan backhaul di seluruh wilayah USO,” katanya.

Seperti diketahui, dibalik heboh pertempuran Telkomsel vs Indosat beberapa waktu belakangan terkuat inti persoalan adalah pada belum kelarnya regulasi soal interkoneksi dan network sharing. Bagi pemain di luar Telkom Group, kedua regulasi itu dibutuhkan untuk bisa masuk ke pasar baru secara lebih efisien. (Baca juga: Jurus mabuk Indosat)

Regulasi soal network sharing masih menunggu tanda tangan Presiden terhadap penyesuaian Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang telekomunikasi. Sedangkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) soal interkoneksi akan dikeluarkan pada Agustus mendatang. Dua regulasi ini memang mengundang perdebatan di antara pemain sehingga aroma tarik menarik kepentingan sangat kental.

Secara terpisah, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi menepis isu kaitan penurunan biaya interkoneksi dengan tarif ritel yang ditawarkan ke pelanggan.

“Biaya interkoneksi itu recovery cost, hanya komponen kecil dari semua tarif ritel. Ada biaya aktivasi dan margin, kenapa dua ini tak disorot? Kalau biaya interkoneksi turunnya drastis yang rugi industri juga, operator jadi gak ada duit buat bangun jaringan,” katanya. (Baca juga: Penurunan biaya interkoneksi)

Sementara terkait dengan isu network sharing, Direktur Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menilai adanya potensi penurunan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) jika dijalankan.

“Kalau mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 tentang Telekomunikasi di Pasal 30 jelas disebutkan Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP)  dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Kalau ada frequency pooling, artinya bayar cuma satu dong,” katanya. (Baca juga: Revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi)

Menanggapi hal itu, Nonot menegaskan tak ada potensi penurunan PNBP jika network sharing dijalankan. “Ini revisi memperjelas Pasal 30 agar tidak  ada bayar double. Revisi PP akan menjelaskan bahwa BHP frekuensi dibayar masing-masing hanya untuk pita frekuensi yangg dialokasikan kepadanya,”katanya.(id)