JAKARTA (IndoTelko) – PT XL Axiata Tbk (XL) mengungkapkan operator telekomunikasi di Indonesia tengah berada dalam pusaran trilema sehingga sulit bersaing di industri yang kompetitif.
“Sudah bukan dilema lagi, tapi trilema. Kami harus menyeimbangkan kepentingan tiga pihak, yaitu industri, konsumen dan investor. Ini tak mudah. Bagi saya salah satu solusi mengatasi trilema ini adalah penerapan network sharing,” ulas Presiden Director XL Axiata Dian Siswarini, kemarin.
Dijelaskannya, persaingan untuk menjadi pemenang di industri seluler akan selalu ada. “Ini bukan head to head antara A vs B. Tetapi sudah any to any. Hal itu bukan terjadi saat ini saja, melainkan sejak dulu dan setiap saat. Butuh insentif regulasi dari pemerintah agar lebih sehat, salah satunya aturan network sharing,” katanya. (Baca juga: aturan network sharing)
Seperti diketahui, aturan network sharing salah satu yang ditunggu industri seluler nasional. Indosat Ooredoo sudah menjalin network sharing berbasis Multi Operator Radio Access Network (MORAN) dengan XL, namun belum puas dan ingin meningkatkan menjadi multi operator core network (MOCN). Skema MOCN memungkinkan terjadinya penggunaan frekuensi secara bersama untuk efisiensi investasi. (Baca juga: Kerjasama Indosat-XL)
Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 53/2000 sangat dibutuhkan jika network sharing ingin mulus karena jika mengacu ke beleid tersebut di Pasal 25 ayat (1) secara tegas menyatakan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. Sementara di ayat (2) pasal yang sama menyatakan Izin stasiun radio tidak dapat dialihakn kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari menteri.
Potensi kerugian
Pada kesempatan lain, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengungkapkan revisi PP yang mengatur penggunaan frekuensi radio dan orbit satelit berpotensi merugikan negara karena berkurangnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). (Baca juga: Revisi aturan frekuensi)
“Dalam revisi itu ada wacana network sharing. Kalau mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi jelas tentang tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri. Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada deal business to business (B2B), ada potensi kerugian,” ungkapnya. (Baca juga: Serangan Indosat)
Menurutnya, PP No 53/2000 sudah benar dengan menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna.
“Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar sementara BHP tetap,” katanya.
Tak hanya menyoroti potensi kerugian, Kamilov juga mengungkapkan proses revisi dari PP No 53/2000 yang kabarnya sudah berada di tangan Sekretariat Negara tak transparan karena tak melibatkan semua pemangku kepentingan dan konsultasi publik yang transparan.
“Itu melanggar kelaziman suatu proses pembuatan hukum di negeri demokrasi sehingga jelas produk hukum itu menimbulkan kezoliman. Ini mengubah demokrasi menjadi democrazy dan menjadi cermin pemimpin anti demokrasi di negara hukum sebagai tiangnya berdirinya negara,” tegasnya.
Ditegaskannya, minimnya partisipasi publik di revisi aturan yang akan mengubah lanskap industri itu menjadikan sebagai produk hukum tidak layak dijalankan. “Saya usul Presiden tunda dulu tandatangan perubahan PP itu karena secara sepihak diproses tanpa melibatkan publik baik masyarakat umum dan industri,” tutupnya.(id)