JAKARTA (IndoTelko) – Telkomsel sebagai operator dominan yang digunakan sebagai acuan dalam penetapan biaya interkoneksi memastikan penawarannya rasional dan sesuai dengan kondisi di lapangan.
“Best practice dari perhitungan interkoneksi adalah berbasis biaya. Kami tak takut divalidasi soal angka yang disubmit ke pemerintah. Bisa dibandingkan antara operator yang bangun 100 BTS dengan 10 BTS itu berbeda belanja modalnya,” papar Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah kala berbuka bersama awak media, kemarin.
Diakuinya, ada desakan untuk menurunkan biaya interkoneksi karena beranggapan belanja perangkat itu makin murah. “Yang ngomong gitu lupa ada depreasiasi, modernisasi jaringan, itu kan beban semua. Kita ini terus nambah kapasitas dan jangkauan, jadi walau secara per unit harga turun, tetapi volume pembelian nambah. Lima tahun terakhir kami bangun setara dengan 10 tahun terakhir,” ulasnya.
Diungkapkannya, dalam menancapkan BTS di sebuah area, Telkomsel membaginya atas pembangunan regular, Merah Putih, dan Universal Service Obligation (USO). Regular artinya bangun jaringan sesuai strategi perluasan yang dimiliki Telkomsel. Merah Putih, membangun di area perbatasan atau menjaga kedaulatan negara. USO, untuk mendukung program desa berdering/pinter dari pemerintah.
“Merah Putih itu butuh waktu untuk balik modal. USO, kadang lancar bayar, kadang gak dibayar. Jadi, lihat secara obyektif kondisi Telkomsel sebelum bilang kami ini tak efisien,” ketusnya.
Ditambahkannya, sebenarnya tak layak meributkan biaya interkoneksi karena hanya sebagian kecil dari komponen tarif ritel. “Sumbangan interkoneksi ke tarif ritel kecil. Saya cuma mau ingatkan, jika dipaksa turun drastis, tak ada keberlanjutan bisnis,” tegasnya.
Penuhi Lisensi
Sementara Anggota Dewan TIK Nas Garuda Sugardo menyarankan pemerintah harus tegas dalam penetapan penurunan biaya interkoneksi dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dari setiap operator.
“Akhir-akhir ini, isu interkoneksi murah yang diusung pemerintah ramai dibicarakan. Sebagai veteran praktisi seluler, saya justru menghimbau agar Pemerintah menugaskan Operator memenuhi janjinya membangun jaringan sesuai lisensinya. Lisensi adalah kewajiban bukan hak,” tegasnya.
Menurutnya, semua operator harus membangun jaringan secara nasional, baru setelah itu menuntut interkoneksi murah secara resiprokal. “Begitu baru adil dan bijaksana. Jangan lupa, bahwa makna interkoneksi adalah “siapa berbuat apa dan mendapatkan apa”. Telkomsel yang membangun jaringan di seluruh pelosok Nusantara, pantas menikmati hasilnya secara sejahtera. Siapa yang membangun jaringan diirit-irit, pantaslah dapatnya sedikit,” tukasnya.
Seperti diketahui, salah satu pemicu perang terbuka antara Telkomsel dan Indosat adalah belum kelarnya pembahasan biaya interkoneksi. Telkomsel meminta penurunan dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dan perhitungan berbasis biaya. Sementara kubu Indosat menyakini biaya interkoneksi bisa turun lebih di atas 50% karena belanja jaringan makin murah.
Biaya interkoneksi adalah komponen yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Perhitungan biaya interkoneksi adalah berbasis biaya yang dilandasi oleh UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, PP 52/2000 mengenai telekomunikasi, dimana Pemerintah yang melakukan perhitungan tarif interkoneksi ini dan operator hanya menyediakan data-data yang dibutuhkan dalam proses perhitungan. (Baca juga: Biaya interkoneksi dan pelanggan)
Besaran biaya interkoneksi kepada operator lain dipengaruhi oleh hasil perhitungan biaya jaringan operator tujuan. Biaya jaringan operator tujuan ditentukan oleh biaya investasi penggelaran jaringan operator tujuan.
Biaya investasi ini dipengaruhi oleh coverage, trafik yang disalurkan dan utilisasi jaringan. Semakin besar wilayah layanan operator maka semakin tinggi investasi per menit panggilan. Biaya ini akan lebih tinggi lagi apabila operator menggelar jaringan ke perdesaan. (Baca juga: Telkom Group dan Interkoneksi)
Sebagai ilustrasi perhitungan, saat ini tarif ritel atau tarif pungut yang dibebankan operator kepada pelanggan berkisar di angka Rp 1500 – Rp 2000 per panggilan off net (panggilan antar operator) per menit. (Baca juga: Dampak Interkoneksi)
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi mengingatkan jika penurunan biaya interkoneksi terlalu besar, akan terjadi nanti fenomena operator ogah membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain.
“Sementara cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar dibawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga,” katanya.(id)