JAKARTA (IndoTelko) – Indonesia dinilai membutuhkan operator yang bersedia menjadi penyedia backbone nasional agar terjadi efisiensi di industri telekomunikasi.
“Salah satu pentingnya revisi dari revisi PP 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit adalah agar mendorong hadirnya operator menjadi backbone nasional. Jadi, tak seperti sekarang, semua berlomba bangun jaringan, ujungnya malah terjadi pemborosan,” ungkap Chairman of Mastel Institute Nonot Harsono di Jakarta, Rabu (29/6).
Menurutnya, hadirnya operator yang menyediakan backbone nasional itu sudah menjadi keharusan bagi Indonesia jika ingin menjadi King Of Digital di masa depan. “Harus ada penataan di pemain jaringan. Kandidat kuat sebagai penyedia backbone nasional itu adalah Telkom,” paparnya.
Dikatakannya, Telkom layak mendapat beban sebagai penyedia backbone nasional karena terkait dengan kedaulatan cyber dan kepentingan nasional. Posisinya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan aset yang dimiliki dinilai sudah cukup.
“Tidak pantas pula backbone nasional ini diberikan kpd Google-fiber atau pun kongsi Microsoft-Facebook yang bila Indonesia masuk ke trans pacific partnership (TPP), sangat mungkin dua raksasa itu meminta izin utk membangun jaringan fiber optik disini. Jika itu terjadi, bisa berakhir dominasi Telkom,” sesalnya.
Diharapkannya,amat penting bagi penentu kebijakan dan para pemangku kepentingan untuk menyadari perbedaan peran antara Telkom dengan operator lainnya.
Saat ini Telkom memang tak tegas sebagai penyedia backbone nasional karena bermain di level pelayanan langsung ke masyarakat baik melalui Telkomsel di seluler atau IndiHome di Fiber To The Home (FTTH).
“Idealnya, operator seluler, Broadband Wireless Access (BWA), dan FTTH fokus di akses serta pelayanan. Sedangkan Telkom adalah pembangun jaringan nasional, penghubung antar pulau, antar propinsi, antar kabupaten/kota, dan kecamatan. Ini akan terjadi efisiensi. Ini tak bisa jalan kalau revisi dua PP itu tak lolos,” jelasnya.
Tak hanya mendorong berbagi jaringan di sisi backbone, Nonot juga mengusulkan adanya open access di level layanan ke pelanggan di FTTH dan seluler.
Di FTTH, akses tetap yang menggunakan kabel ke rumah-rumah harusnya cukup satu kabel saja dan di open access.
Sedangkan di seluler, satu BTS bisa dioperasikan dgn pita frekuensi gabungan. Satu BTS bisa dipikul dan dipakai bersama oleh dua operator atau lebih, yang disebut sebagai RAN sharing atau network-sharing di level akses.
“Hal-hal inilah yang sejak terbit UU 36/99 tentang Telekomunikasi dan PP 52 & 53 belum diatur, sehingga diperlukan revisi sesegera mungkin agar indonesia dapat memanfaatkan kemajuan teknologi secara maksimal,” katanya.
Diingatkannya, dalam hukum bisnis telekomunikasi, siapapun yang berperan menjadi backbone nasional akan sangat beruntung karena berarti akan menjadi saluran tunggal dari semua trafik dari dan ke seluruh wilayah nusantara.
“Bukan fisik kabel fiber optiknya yang harus banyak, tetapi kapasitasnya yang harus besar. Karena itu tidak perlu semua menggelar kabel laut, menggali jalan propinsi, menggali jalan raya, memasang tiang kabel, dan lainnya,” usulnya. (Baca juga: Revisi PP 52 dan 53)
Seperti diketahui, saat ini revisi PP No 52 dan 53 telah tahap menunggu penandatanganan dari Presiden Joko Widodo. Di tengah penantian, kontroversi mencuat karena penyusunan tak transparan dan tak diajak berdiskusinya Telkom Group sebagai operator dominan.(id)