JAKARTA (IndoTelko) – Rencana pemerintah yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000) dan PP 53 tahun 2000 tentang frekuensi dan orbit satelit diprediksi akan membuka peluang munculnya pemain Mobile Virtual Network Operator (MVNO).
MVNO adalah penyelenggara jasa pelayanan telekomunikasi bergerak dalam bentuk suara dan data, dimana penyelenggara tersebut tidak memiliki izin atas spektrum frekuensi atau lisensi jaringan akses. Dalam menjalankan usahanya, penyelenggara tersebut melakukan kerjasama dengan operator jaringan yang memiliki alokasi spektrum frekuensi serta lisensi jaringan akses.
“MVNO memang berpeluang hadir jika revisi PP terjadi. Tetapi itu tak perlu ditakutkan bagi pemain Mobile Network Operator (MNO/Operator jaringan). Justru ini menjadi revenue stream baru karena utilisasi jaringan menjadi maksimal di sisi bisnis wholesales dan pelayanan ke masyarakat menjadi maksimal,” ungkap President Director & CEO Indosat Alexander Rusli, dalam diskusi terbatas dengan sejumlah media termasuk IndoTelko, di Ramadan lalu.
Menurutnya, di era digital seperti sekarang segmentasi terhadap target pelanggan tak bisa dihindari. “Tak mungkin sekarang semua segmen dilayani MNO. Misal, ada Bank yang mau terbitkan kartu khusus untuk komunitasnya. Kalau ada MVNO, mereka bisa layani itu. MNO tinggal siapkan service level agreement (SLA),” katanya.
Sekadar informasi, dalam revisi PP 52 tahun 2000 memang akan ada perubahan model lisensi bagi penyelenggara telekomunikasi dengan tidak lagi menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur tetapi di service level agreement (SLA). Semantara di rencana revisi PP 53/2000 dibuka tentang wacana network sharing. Dua revisi ini menjadi pintu masuk bagi bisnis MVNO.
Di praktik bisnis global, MVNO mulai dikenal sejak tahun 2000-an dengan tujuan mempercepat penetrasi layanan seluler. Bisnis model dari MVNO yang dikenal diantaranya Reseller / Super Dealer dimana pemain MVNO berkedudukan hanya sebagai reseller terhadap layanan bergerak dari MNO. MVNO tidak memiliki infrastruktur dan hanya sebagai kepanjangan tangan MNO sehingga tanggung jawab pelanggan ada pada MNO.
Berikutnya, Service Provider MVNO (SP-MVNO) dimana MVNO mempunyai/membangun Infrastruktur sendiri yang terkait dengan system data base pelanggannya meliputi billing system, customer care, pusat pemasaran dan pusat penjualan. Pada tipe ini MVNO masih terbatas menggunakan produk (wholesale) milik MNO.
Enhanced Service Provider MVNO (ESP-MVNO) dimana hampir mirip dengan SP-MVNO tetapi pada model ini MVNO tidak hanya menjual layanan seluler milik MNO tetapi juga menawarkan layanan tambahan milik MVNO itu sendiri. (Baca juga: Modern Licensing Operator)
Terakhir, Full MVNO dimana menyediakan dan membangun seluruh infrastruktur termasuk Core Network, Transmisi dan jaringan akses. MVNO hanya menyewa Lisensi akses spektrum frekuensi dari MNO. (Baca juga: Revisi aturan frekuensi)
Dalam kajian yang dilakukan McKinsey beberapa tahun lalu, dinyatakan pemain MVNO di negara berkembang bisa menguasai sekitar 10% hingga 40% pangsa pasar seluler. (Baca juga: Network sharing)
Jika model bisnis yang dipilih hanya sebagai reseller dari MNO, belanja modal yang dibutuhkan hanya sekitar US$ 2 juta dengan peluang EBITDA marjin diraih dibawah 10%. Jika MVNO memilih model bisnis sebagai penyedia layanan EBITDA marjin bisa sekitar 10%-15% dengan kebutuhan belanja modal sekitar US$ 3 juta hingga US$ 5 juta.
Terakhir, jika pilihan jatuh kepada light MVNO diperkirakan butuh belanja modal sekitar US$ 15 juta hingga US$ 20 juta dengan EBITDA marjin sekitar 15% hingga 20%. (Baca juga: Revisi aturan telekomunikasi)
Dalam kajiannya, McKinsey mengingatkan syarat sukses MVNO menjalankan bisnis harus bisa membangun relasi yang harmonis dengan pemain MNO, dan memiliki program pemasaran yang bagus untuk memenangkan persaingan.(id).