JAKARTA (IndoTelko) – Kompetisi di bisnis penyediaan backbone diprediksi akan sengit dimasa mendatang seiring posisi Mora Telematika Indonesia (Moratel) yang menguasai proyek Palapa Ring.
Moratel mengerjakan Proyek Palapa Ring Paket Barat bersama Ketrosden Triasmitra. Paket Barat menjangkau wilayah Riau dan Kepulauan Riau (sampai dengan Pulau Natuna), dengan total panjang kabel serat optik sekitar 2.000 kilometer.
Perusahaan ini juga menjadi pemenang Palapa Ring Paket Timur bersama Smart Telecom dan IBS. Paket timur menjangkau wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat, dan Papua (sampai dengan pedalaman Papua) dengan total panjang kabel serat optik sekitar 6.300 kilometer.
Di bisnis pembangunan SKKL dan kabel optik, nama Moratel salah satu yang diperhitungkan di industri selain Telkom. (Baca juga: Tender Palapa Ring)
Moratel didirikan tahun 2000 oleh pengusaha Galumbang Menak Simanjuntak. Proyek perdana yang ditanganinya adalah membangun jaringan internasional Jakarta – Batam - Singapura melalui microwave dengan kapasitas 2xSTM-1.
Moratel dan bersama Ketrosden Triasmitra memiliki SKKL Jakarta-Bangka-Batam-Singapura (SKKL B3JS) yang dibangun pada 2012 dengan nilai investasi hampir US$ 60 juta. Infrastruktur ini merupakan solusi terbaik untuk menghubungkan dan mentransfer jasa telekomunikasi berkecepatan tinggi melalui inti 24 optik ke salah satu pusat bisnis tersibuk di Asia Pasifik.
“Sinyal kemenangan Moratelindo ini harus direspons oleh Telkom Grup yang selama ini bermain di bisnis backbone. Jika mereka tak melakukan reposisi, dimana membuka akses bagi semua pemain tak hanya Telkomsel, lima tahun kedepan bisa bangkrut,” ungkap Chairman Mastel Institute Nonot Harsono kepada IndoTelko, kemarin.
Diingatkannya, Telkom Grup harus belajar dari berhentinya pengembangan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) yang mulai terlihat sejak 2010 lalu. Waktu itu saya ingatkan Telkom sebagai Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), tetapi dibilang bisnis Telkom Flexi masih sehat. Buktinya? CDMA tak berkembang dan akhirnya shut down kan,” katanya.
Menurutnya, jika Telkom masih bersikeras menutup akses backbone bagi pemain lain untuk menyewa, maka yang terjadi adalah konsolidasi sesama pemain dan mencoba membangun backbone sendiri. “Bisa juga mereka kompakan investasi itu di Moratelindo atau ajak investor asing. Kalau sudah seperti itu, Telkom dapat lawan sepadan. Ini bisa Telkom menang, atau kalah,” katanya.
Ditambahkannya, saat ini Telkom terlalu mengerdilkan diri dengan berpola pikir hanya sebagai service provider. Seharusnya Telkom bermain sebagai service dan network provider.
“Pemain lain yang murni service provider seharusnya dipandang sebagai mitra yang membantu mencari pengguna saluran atau pencari trafik. Tapi Telkom memandangnya sebagai pesaing sesama service provider sehingga utilisasi saluran backbone menjadi tak banyak,” tukasnya.
Dalam catatan, saat ini Telkom grup membentangkan backbone serat optik di bumi nusantara sepanjang 81.831 Km dari Sabang hingga Merauke.
Pemain seperti Telkom, misal XL Axiata memiliki serat optik tidak kurang dari 40.000 km, yang meliputi hampir seluruh wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sedangkan Indosat untuk serat optik memiliki dan mengoperasikan berbagai sistem kabel laut antara lain Jakabare (Jakarta – Kalimantan – Batam – Singapore), SMW3 (South East Asia - Middle East - West Europe), JaSutera (Jawa – Sumatera), Jambi-Batam-Singapore, AAG (Asia – America Gateway), Javali (Jawa – Bali), Jakasusi (Jawa – Kalimantan – Sulawesi), Jakarta – Surabaya. (Baca juga: Bisnis backbone nasional)
Indosat juga memiliki jaringan terestrial yang menghubungkan sistem komunikasi dari Surabaya ke Madura, backbone pulau Jawa, backbone pulau Sumatera, backbone Kalimantan (Banjarmasin – Balikpapan – Samarinda, Banjarmasin – Palangkaraya – Sampit) dan backbone Sulawesi (Makasar – Palu). (Baca juga: Bisnis Telkom)
Dari kekuatan tersebut terlihat hanya Telkom yang memiliki backbone dari Sabang hingga Merauke. (dn)