Dampak penurunan biaya interkoneksi, harga SMS makin murah?

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Perhitungan biaya interkoneksi baru yang diumumkan pemerintah pada 2 Agustus lalu diyakini akan berdampak ke harga pengiriman layanan pesan singkat atau SMS.

Dalam daftar biaya interkoneksi terbaru dinyatakan biaya originasi SMS sebesar Rp 11. Hal ini berarti biaya produksi SMS dalam versi biaya interkoneksi baru sekitar Rp 22. Angka ini turun dibandingkan biaya interkoneksi lama sebesar Rp 23 alias Rp 46 untuk produksi sekali kirim.

Saat ini operator dalam menawarkan harga SMS ke pelanggan sekitar Rp 100 hingga Rp 150 untuk sekali kirim. Hal yang wajar karena biaya interkoneksi hanya sebagian dari komponen tarif pungut ke pelanggan.

Formula tarif retail atau pungut ke pelanggan terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin. Jika dilihat secara kasar, artinya operator menetapkan marjin sekitar 40% untuk layanan SMS bagi pelanggan.

Marjin akan didapat lebih besar jika bicara SMS untuk layanan value added service (VAS) seperti SMS banking yang bisa mencapai Rp 500 untuk sekali kirim.

“Memang kalau dilihat penurunan untuk SMS besar sekali, hampir 50%,” ungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi kepada IndoTelko, Selasa (3/8).

Namun, diprediksinya operator tak akan memangkas harga SMS terlalu besar karena masih ingin mempertahankan marjin dari layanan ini. “Dari dulu saya bilang ada yang salah dengan persepsi Pak Menkominfo. Biaya interkoneksi hanya bagian dari komponen tarif ritel. Itu ada dua komponen lagi kenapa dia tak pernah teliti,” sindirnya. (baca: Penyesatan penurunan biaya interkoneksi)

Chairman Mastel Institute Nonot Harsono mengatakan akan menarik jika ada justifikasi dari cara melihat trafik suara dan SMS yang terjadi selama ini. “Dulu waktu saya masih di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) malah ada yang klaim biaya produksi SMS dibawah Rp 5,” ungkapnya. (Baca : Tarif Halo-halo turun)

Menurutnya, selama ini perhitungan melihat trafik rata-rata nasional dengan melihat   berapa volume penjualan SMS atau voice dan  berapa biaya jaringan untuk menyalurkannya. “Biaya dibagi volume penjualan didapat harga satuan jaringan. Sederhananya kan begitu,” katanya.

Sekadar diketahui, layanan SMS sempat menjadi primadona bagi operator beberapa tahun lalu untuk mengakuisisi pelanggan sebelum munculnya Instant Messaging seperti WhatsApp atau Telegram.

Namun, karena layanan SMS pula sejumlah operator disemprit Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan dijatuhkan denda senilai total Rp77 miliar kepada negara.

Para operator tersebut antara lain XL dan Telkomsel dengan denda masing-masing Rp25 miliar, PT Telkom diwajibkan membayar denda Rp18 miliar, Bakrie Telecom membayar denda Rp4 miliar, dan PT Mobile-8 (yang kemudian diakuisisi oleh Smart Telecom) membayar denda Rp5 miliar.

Kasus ini berawal saat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menerima laporan adanya dugaan pengaturan atas tarif pesan singkat (SMS) antaroperator. KPPU kemudian mulai melakukan penyelidikan kartel SMS sejak 2 November 2007 hingga 13 Desember 2007, dan dilanjutkan pemeriksaan lanjutan hingga 26 Maret 2008. (Baca: Kartel SMS)

Tarif SMS pada periode 1994-2004 adalah sama untuk semua operator off-net (lintas operator) maupun on-net (antaroperator), yaitu sebesar Rp350 untuk pelanggan karena mengadopsi pola Sender Keep All (id)