JAKARTA (IndoTelko) – Aksi Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang mengumumkan penurunan biaya interkoneksi secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan layanan seluler dan telepon tetap sebesar 26% dinilai berpotensi merugikan negara sehingga layak dilakukan audit terhadap cara perhitungan yang dilakukan Kemenkominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
“Perhitungan yang baru diumumkan itu memaksa operator dominan (Telkom dan Telkomsel) menjual di bawah biaya jaringan. Ini berpotensi merugikan negara, Telkom itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kalau mereka kalah karena kompetisi itu wajar, tetapi kalau dipaksa menjual di bawah biaya jaringan bisa jadi ada tindakan pidana,” ungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, kepada IndoTelko, Kamis (4/8).
Sekadar diketahui, Kemenkominfo telah mengumumkan penurunan biaya interkoneksi. Di jaringan bergerak seluler memang terjadi penurunan, namun di jaringan tetap malah terjadi kenaikan.
Jika di jaringan seluler biaya interkoneksi untuk panggilan lokal turun dari Rp 250 ke Rp 204, di jaringan tetap malah naik dari Rp 73 menjadi Rp 125.
Perhitungan biaya interkoneksi akan menjadi referensi bagi Kemenkominfo dalam mengevaluasi Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam segmentasi layanannya, serta dapat menjadi referensi jika terjadi perselisihan yang terkait dengan biaya interkoneksi. Di Industri, Telkom dan Telkomsel masuk dalam kategori ini. (Baca: Telkom Group dan biaya interkoneksi)
Ridwan menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan mengaudit BRTI dan Kemenkominfo guna melihat proses perhitungan biaya interkoneksi tersebut. (Baca: Penurunan biaya interkoneksi)
“Sewaktu di BRTI, Saya selalu terlibat dalam perhitungan tarif interkoneksi. Yang terakhir di saat-saat transisi masa jabatan saya, memang belum selesai, tapi kalau saya lihat kecenderungannya seharusnya minimal tetap atau bahkan naik,” ungkap mantan Anggota Komisioner BRTI itu.
Ridwan mengakhiri jabatan di BRTI pada pertengahan 2015. Proses perhitungan biaya interkoneksi memang telah dimulai sejak akhir 2014 dan baru selesai di semester II 2016. Biaya interkoneksi sendiri dievaluasi setiap dua tahun sekali. (Baca: Vitamin biaya interkoneksi)
Ridwan mengkhawatirkan dampak lain dari pemangkasan biaya interkoneksi adalah penurunan kualitas layanan karena operator dominan menjual dibawah harga produksi. (Baca: Penurunan biaya interkoneksi dan pelanggan)
“Dalam WTO Reference paper jelas sekali dinyatakan tarif interkoneksi itu harus cost based, jadi harus dihitung berapa harga dasarnya, hanya untuk sekadar cost recovery. Ini harus dihargai, berapa angka yang didapat dari formula yang disepakati dengan input data2 yang sahih itu yang harus diambil. Teorinya, kalau jaringan sudah mature, tarif interkoneksi ini akan terus turun, tapi tidak kalau operator terus membangun atau berganti teknologi, bisa saja tetap atau bahkan naik,” pungkasnya.(dn)