JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah mengaku tak alergi dengan wacana penerapan interkoneksi berbasis internet protocol (IP based) layaknya yang terjadi di sejumlah negara maju agar tarif pungut ke konsumen lebih terjangkau.
“Sekarang memang kebijakan untuk interkoneksi circuit switched. Kita tak alergi dengan kebijakan interkoneksi IP based karena memang tren ke arah sana. Tapi sebelum menuju kesana itu banyak Pekerjaan Rumah (PR) harus dibereskan, diantaranya sejumlah regulasi yang nyantol ke interkoneksi dimana masih circuit switched, salah satunya Fundamental Technical Plan (FTP) harus diubah,” ungkap Menkominfo Rudiantara, pekan lalu.
Ditambahkannya, selain isu sejumlah regulasi yang harus dibereskan, kesepakatan dengan para pelaku usaha pun harus ada. “Jangan nanti ada yang mau IP based, ada yang tidak. Nanti saya yang dikejar-kejar,” sindirnya.
Ketika ditanya adakah kemungkinan interkoneksi IP Based dijalankan untuk perhitungan pada 2018 mendatang, “Memang perhitungan biaya interkoneksi itu setiap dua tahun direvisi. Nanti lihat saja. Bisa gak itu sejumlah regulasi direvisi mendukung interkoneksi IP based,” tutupnya.
Secara terpisah, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Imam Nashiruddin mengatakan untuk menuju penerapan interkoneksi berbasis IP harus diciptakan dulu situasi penyebaran infrastruktur yang merata diantara semua pemain.
“Belum bisa kita terapkan IP Based Interconnection sepenuhnya karena 70% jaringan masih berbasis 2G. Kalau ke IP based interconnection, butuh banyak penyesuaian,” katanya.
Sementara Chairman Mastel Institute Nonot Harsono mengingatkan jika akan diterapkan interkoneksi berbasis IP harus ada kesepakatan bahwa yang dimaksud adalah all IP network yang seluruh service-nya disediakan oleh server Apps. “Kita ini mau menata fungsi teknologi bukan diatur oleh teknologi,” ingatnya.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016.
Proses perhitungan panjang sejak 2015 yang menggunakan payung hukum Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi itu menghasilkan penurunan biaya interkoneksi secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler sekitar 26%.
Saat ini operator banyak mengadopsi sistem telekomunikasi bergerak masa depan (next generation mobile system) berbasis pada IP untuk memenuhi kebutuhan bandwidth dimana-mana.
Peran penting dari IP pada sistem next generation mobile adalah sistem akan efisien dan biaya yang efektif antara overlay network untuk menjalankan aplikasi dan layanan saat ini dan ke depan. IP diasumsikan sebagai perekat untuk menyediakan konektivitas global, mobilitas di antara jaringan dan platform umum untuk pemberian layanan melalui beragam jaringan akses yang berbeda.
Infrastruktur IP dapat dikarakteristikan melalui tiga cara pandang, yaitu, aspek transport dimana semua trafik akan dikirimkan melalui IP, kemudian aspek layanan (service) dimana jaringan IP akan menyediakan platform layanan yang memungkinkan makin mudah dan cepatnya pembuatan dan penyediaan layanan. Multimedia melalui IP akan didukung dengan protokol SIP, dan aspek terminal dimana terminal akan berbasis IP, dengan kemampuan SIP/VoIP.
Perubahan jaringan di operator ini tentu menuntut adanya model interkoneksi baru. Jaringan dan trafik berbasis IP dipastikan berpengaruh terhadap pengaturan interkoneksi.
Dalam Peta Jalan (Road Map) Konvergensi Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, direncanakan pada 2011 interkoneksi yang tadinya berdasar waktu dan jaringan dengan metode berbasis biaya akan berubah ke basis IP. (Baca: Dampak biaya interkoneksi)
Namun, kenyataan hingga perubahan terakhir dari perhitungan biaya interkoneksi tetap mengedepankan prinsip cost-based (sesuai biaya) menggunakan metode perhitungan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BU LRIC) dengan pendekatan Forward Looking berdasar waktu dan jaringan.(id)