Pemerintah akhirnya melanjutkan revisi sejumlah aturan di sektor telekomunikasi terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan penggunaan frekuensi.
Jika sebelumnya Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai Pembina sektor telekomunikasi terkesan melakukan operasi senyap guna meloloskan revisi, kali ini diskusi perubahan terlihat lebih terbuka. (Baca: Revisi PP Telekomunikasi)
Setidaknya itu sudah ditunjukkan oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution yang melakukan rapat koordinasi pada Senin (8/8) yang menggelar Rapat Koordinasi (Rakor). (Baca: Urgensi revisi PP Telekomunikasi)
Hadir dalam rakor antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri BUMN Rini Soemarno, Deputi Bidang Perundang-undangan Kementerian Sekretariat Negara Muhammad Sapta Murti, Sekretaris Sesmenko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo, dan Staf Ahli Bidang Pengembangan Daya Saing Nasional Kemenko Perekonomian Bambang Adi Winarso.
Usai Rakor, pemerintah menyatakan akan segera dilakukan perubahan terbatas terhadap dua peraturan pemerintah di bidang telekomunikasi.
Masing-masing adalah perubahan terhadap PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Kedua PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator. Pengaturan masalah sharing antar operator ini harus didasarkan pada azas fairness dengan dasar perhitungan investasi yang jelas.
Menurut pemerintah, perubahan terhadap dua PP telekomunikasi ini diperlukan untuk memanfaatkan infrastruktur pita lebar (broadband) agar mendukung ekosistem industri telekomunikasi. (Baca: Panas di revisi aturan telekomunikasi)
Tujuannya agar tercapai efisiensi penyelenggaraan telekomunikasi, mempercepat pembangunan infrastruktur & layanan telekomunikasi nasional, dan menerapkan kepatuhan terhadap aturan dan koordinasi antar stakeholder.
Revisi terhadap PP 52/2000 dilakukan agar pembagian peran antar penyelenggara jaringan telekomunikasi lebih sinergis. Sedangkan untuk PP 53/2000, revisi dilakukan agar penggunaan spektrum frekuensi semaksimal mungkin dapat mendukung program kerja membangun akses pitalebar (broadband) nasional.
Dalam kacamata pemerintah, jika tak ada model berbagi jaringan ada kerugian lebih kurang US$ 15 miliar karena operator berlomba membangun jaringan. Padahal, teknologi memungkinkan adanya berbagi kapasitas yang menawarkan efisiensi.
Hal yang menarik ditunggu adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah dalam revisi kedua PP tersebut. Kabar beredar di para pewarta ada dua skenario yang ditawarkan ke pelaku usaha.
Pertama, berbagi jaringan menjadi wajib untuk infrastruktur backbone, tetapi diserahkan business to business (B2B) di sisi akses. Kedua, berbagi jaringan diserahkan pada mekanisme B2B baik disisi akses atau backbone.
Manakah yang akan dipilih? Apapun pilihan yang diambil oleh pemerintah, pil pahit harus ditelan pemain incumbent dalam hal ini kebetulan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Telkom.
Tak bisa dipungkiri Telkom adalah penguasa bisnis infrastruktur (backbone, backhaul, dan akses) di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum Telkom Grup adalah penguasa pasar di luar Jawa ditengah gempuran pesaing di Pulau Jawa.
Jika berbagi jaringan terjadi, apapun skenarionya, Telkom dalam posisi merugi. Misal, skenario berbagi jaringan di sisi backbone tak wajib. Bisa dibayangkan kesulitan dari anak usahanya Telkomsel yang hanya memiliki frekeunsi sekitar 22-an Mhz melawan pemain seperti Indosat dan XL jika berkolaborasi.
Di seluler, frekuensi yang lowong adalah modal utama memenangkan persaingan karena tak butuh dana besar menambah BTS untuk kapasitas sehingga harga bisa dibanting ke pelanggan dengan kualitas layanan lebih baik.
Telkom akan makin merugi jika yang diambil adalah skenario berbagi jaringan wajib baik disisi backbone dan akses. Kondisi ini sama saja membukakan pintu rumah ke pesaing.
Lantas apa dampaknya ke negara? Hal yang pasti bisa saja setoran dividen dari Telkom berkurang. Tahun lalu perusahaan ini menghasilkan lebih kurang Rp 32 triliun untuk pemerintah, termasuk di dalamnya dividen serta pajak.
Belum lagi jika bicara potensi penurunan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor frekuensi yang bisa berkurang karena operator lebih banyak berkolaborasi ketimbang membangun jaringan.
Nah, kalau kondisi seperti ini akankah revisi kedua PP ini menjadi lebih mudah atau sulit setelah ditarik dibawah komando Menko Perekonomian? Kita lihat saja nanti
@IndoTelko