JAKARTA (IndoTelko) - Isu revisi biaya interkoneksi dianggap masih krusial bagi operator seluler di Indonesia karena menyangkut kepada kualitas layanan dan kompetisi.
“Indonesia bukan seperti di negara-negara Eropa yang sudah merata infrastruktur antar pemainnya. Kalau di negara Eropa, isu interkoneksi memang tak seksi lagi. Jalan-jalan dong ke seluruh Indonesia, biar tahu gimana kondisi infrastruktur seluler dan arti pentingnya bagi rakyat. Dari situ baru paham kalau setiap ada wacana revisi biaya interkoneksi akan menjadi perdebatan di antara operator lokal,” ungkap Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, di Jakarta, Selasa (16/8).
Diungkapkannya, selain isu tak samanya kondisi infrastruktur yang dimiliki operator, trafik suara di Indonesia masih tinggi. “Biaya interkoneksi itu menjadi recovery cost bagi penyelenggara. Kok tiba-tiba ada yang bilang recovery cost dibawah harga produksi tak merugikan? Ini teori dari mana,” sergahnya.
Menurutnya, jika ada yang menyatakan terjadi keseimbangan baru ketika biaya interkoneksi baru dijalankan, harus datang dengan data yang tepat. “Itu butuh berapa lama keseimbangannya. Nah, jelang keseimbangan itu siapa yang tutup kerugian? Ini harus jelas semualah,” ketusnya.
Dikalkulasinya dengan merujuk kepada laporan keuangan dari operator dominan yakni Telkom dimana pendapatan interkoneksi hanya 6% dari total pendapatan. “Ini pakai hitungan kasar. Pendapatan Telkom Rp 80 triliun, biasanya dapat recovery cost Rp 4,8 triliun. Artinya turun 26% sesuai hitungan pemerintah, jadi Rp 1,2 triliun. Singkatnya ada kerugian setiap tahun dong dialami Telkom Rp 1,2 triliun sebelum kondisi keseimbangan itu terjadi. Ini siapa yang nanggung, perusahaan negara ini,” tukasnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memutuskan ada penurunan biaya interkoneksi berkisar 26% secara rerata untuk 18 skenario panggilan seluler dan telepon tetap.
Keputusan ini sempat menjadi polemik di kalangan akademisi. Ada yang menganggap proses perhitungan tak transparan dan adil. Ada yang menganggap pemerintah salah menerapkan metode asimetris karena kondisi infrastuktur seluler tak merata antara pemain.
Namun, ada juga yang menganggap dampak dari penurunan tarif interkoneksi dapat dilihat dalam jangka panjang. Untuk itu, tak perlu takut kehilangan pemasukan di jangka pendek.
Alasannya, pasar Indonesia itu elastis. Banyak pengguna yang masih sensitif soal harga, sehingga penurunan biaya akan mendorong pengunaan telepon. (Baca: Operator dirugikan)
Berdasarkan penghitungan kelompok ini, penurunan tarif 1%, bisa jadi ada kenaikan net use sampai 40%. (Baca: Vitamin biaya interkoneksi)
Di samping itu, turunnya pendapatan biaya interkoneksi akan diikuti dengan turunnya beban interkoneksi yang harus dibayarkan. Hal itu jelas sebab yang dibutuhkan untuk membayar beban interkoneksi lebih rendah.(dn)