FSP BUMN Strategis: Revisi biaya interkoneksi, Rudiantara hanya bikin gaduh!

Demonstrasi dari massa Federasi Serikat BUMN Strategis di luar gedung DPR pada Selasa (30/8) jelang RDP Kominfo-Komisi I DPR (dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (FSP BUMN Strategis) membuktikan ancamannya untuk melakukan demonstrasi jelang digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dengan Komisi I DPR pada Selasa (30/8) pagi.

Walau RDP batal digelar, namun massa yang dipimpin Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto tetap bergerak menuju gedung kura-kura (DPR) dan melakukan orasi di depan pintu gerbang.

“Rencana perubahan biaya interkoneksi yang dirancang Rudiantara itu menimbulkan ketidakadilan. Ada operator yang dirugikan dan kebetulan yang dirugikan itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kami datang kesini membela dengan semangat nasionalisme. Kita minta Rudiantara tak bikin gaduh,” tegas Wisnu disela-sela demonstrasi.

Diungkapkannya, jika revisi biaya interkoneksi dijalankan pada 1 September mendatang pihak yang diuntungkan adalah operator asing. “Persoalan industri harus efisien harus jelas dari hulu ke hilir. Masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha harus mendapat manfaat dan memikul tanggung jawab yang seimbang. Kalau rencana Rudiantara dijalankan itu sama saja hanya menguntungkan pemain asing sekaligus merugikan bangsa sendiri. Ini yang kami gagal paham,” tegasnya.

Dijelaskannya, rencana penurunan biaya interkoneksi secara rerata 26% bagi 18 skenario panggilan untuk jasa seluler tak ada dampak besar dengan tarif seluler (tarif berlaku di masyarakat).

“Biaya interkoneksi adalah salah satu elemen ke tarif ritel yang kontribusinya sangat kecil dalam penentuan tarif berlaku ke masyarakat. Tak ada ceritanya biaya interkoneksi diturunkan, tarif ritel langsung turun. Baiknya Rudiantara fokus saja menata industri telco menjadi lebih baik. Jangan bikin kegaduhan yang tidak perlu,” tukasnya.

Diprediksi panas
Sekadar informasi, RDP Menkominfo dan Komisi I DPR jika terealisasi akan menyajikan tontonan panas karena beberapa isu akan dikonfirmasi oleh Anggota DPR ke Pria yang akrab disapa Chief RA itu.

Salah satunya adalah isu tentang tak ada kewajiban bagi Telkomsel atau Telkom untuk membangun jaringan hingga daerah pelosok dan perbatasan.

"Kita akan tanyakan ulang isu itu (pembangunan jaringan) ke menteri," kata Anggota Komisi I DPR RI  Budi Youyastri usai mendengarkan keterangan dari Dirut Telkom Group Alex J Sinaga pasca RDPU pada Kamis (25/8).

Sedangkan Wakil Ketua Desk Ketahaan dan Keamanan Cyber Nasional, Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Ir Prakoso, pernyataan Menkominfo tersebut di depan anggota Komisi I DPR RI beberapa waktu yang lalu membuktikan bahwa pak menteri tak mengerti mengenai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal pasal 28 F UUD 1945. (Baca: Lisensi Telkomsel)

Dalam pasal 28F UUD 1945 dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

“Jika perusahaan telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki asing tak mau membangun di daerah terpencil, lalu bagaimana pemerintah bisa memenuhi hak mereka. Selama ini Menkominfo tidak pernah tegas kepada perusahaan telekomunikasi asing tersebut,”kata Prakoso.

Selain tak mengerti prinsip dasar negara, Menkominfo juga tidak mengerti filosofi UU RPJM 2015 - 2019 serta prinsip dasar UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999 dan Rencana Pitalebar Indonesia tahun 2014 – 2019. “Alangkah baiknya jika pak menteri mau membaca kembali empat aturan tersebut,”ujar Prakoso.

Di dalam pasal 16, UU Telekomunikasi No 36 tahun 1999 ditulis dengan jelas bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Namun kenyataannya para operator yang sahamnya dimiliki oleh asing ini hanya mengambil keuntungan bisnis saja di Indonesia. Tanpa mempedulikan nasib masyarakat Indonsia di daerah terpencil dan perbatasan.

Sebagai contoh, ketika  10 desa di Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Hulu mengancam akan pindah kewarganegaraan ke Malaysia, karena merasa tidak mendapat perhatian dan keadilan dari pemerintah khsusnnya dalam mendapatkan layanan telekomunikasi. Pada saat itu pemerintah melalui BUMN telekomunikasinya langsung mengoperasikan lima BTS (Base Transceiver Station) di wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia. Peresmian dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara pada 15 Desember 2014 di Desa Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur.

“Apakah Indosat dan XL mau membangun di daerah tersebut yang sama sekali tidak menguntungkan? Selama ini terbukti operator telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki asing tak mau membangun di daerah remote dan terpencil. Mereka hanya mau membangun di daerah yang menguntungkan saja. Karena pemerintah memiliki ‘power’ yang kuat di Telkom maka mereka lah yang selama ini diminta untuk membangun,”terang Prakoso. (Baca: Asing dimanja)

Asal tahu saja, di dalam Rencana Pitalebar Indonesia tahun 2014 – 2019 tertulis dengan jelas bahwa pemerintah akan membangun Konektivitas Nasional yang merupakan bagian dari dari konektivitas global. Tujuannya agar pelayanan dasar telekomunikasi ini dapat dinikmati oleh masyarakat di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan. (Baca: Menkominfo dituding pro asing)

Menurut Prakoso Rencana Pitalebar Indonesia tersebut juga sesuai dengan point ke 3 Nawa Cita Presiden Joko Widodo tentang membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. “Jika Menkominfo tidak berani ‘memaksa’ para operator tersebut membangun di daerah terpencil dan perbatasan, artinya keberpihakkan beliau kepada operator asing sangat jelas. Beliau juga tidak mendukung program Nawa Cita Presiden Joko Widodo,”terang Prakoso.(id)