JAKARTA (IndoTelko) – Evaluasi biaya interkoneksi yang rutin dijalankan pemerintah dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) setiap tiga tahun dianggap hal yang biasa layaknya operasi pasar menjaga harga kebutuhan pokok selama Ramadan.
“Evaluasi biaya interkoneksi itu seperti kegiatan operasi pasar guna menjaga harga wajar yang diterima masyarakat. Operasi pasar itu kan tujuannya membuat harga normal. Nah, Jika harga terlalu tinggi maka pemerintah harus memaksa turunkan harga demi masyarakat. Ini yang terjadi dengan evaluasi biaya interkoneksi secara rutin tiga tahun sekali karena harga teknologi itu cenderung turun,” ungkap Mantan Komisioner BRTI 2009-2015 yang sekarang menjadi Chairman Mastel Institute Nonot Harsono dalam rilisnya kepada IndoTelko, Minggu (5/9) malam.
Dijelaskannya, andai negara memilih sistem monopoli dalam menyediakan jaringan komunikasi bagi masyarakat, maka tentu tidak ada keributan interkoneksi, karena hanya ada satu operator yg melayani seluruh rakyat. Namun negara memilih sistem persaingan (multi operator), sehingga ada lebih dari satu jaringan komunikasi yang melayani masyarakat.
Sebagian masyarakat menjadi pelanggan dari satu operator, sebagian lagi memilih menjadi pelanggan operator yang lain. Agar pelanggan dari setiap operator dapat terhubung dengan pelanggan dari operator yang manapun, maka semua jaringan itu harus saling tersambung (berinterkoneksi). Kewajiban berinterkoneksi diatur UU Telekomunikasi Pasal 25 UU 36/1999.
Bisnis Interkoneksi
Apakah ada bisnis dalam interkoneksi? Menurut Pria yang akrab disapa Cak Nonot ini yang menjadi perhatian dalam interkoneksi adalah berapa trafik outgoing-call ke operator lain dan berapa incoming-call dari operator lain. Trafik ini menentukan selisih biaya antara (Outgoing-traffic x Tarif) dan (incoming-traffic x Tarif).
Jika trafik telepon ke operator lain (outgoing-traffic) sama dengan trafik yang diterima dari operator lain (incoming-traffic), maka kedua operator itu sama-sama impas. Artinya biaya interkoneksi yang harus dibayar sama dengan yang diterima.
Pada umumnya, operator besar menerima trafik lebih besar karena jumlah pelanggan yang besar, sehingga bisa menerima pembayaran biaya interkoneksi lebih besar daripada operator yang lebih kecil. Sebaliknya, operator yang kecil harus membayar biaya interkoneksi yang besar untuk sekadar menyambungkan pelanggannya yang sedang menelepon pelanggan operator lain.
Nonot pun memberikan ilustrasi tiga kasus yang mungkin terjadi dalam biaya interkoneksi
Kasus Pertama, Trafik dua arah seimbang
Misal outgoing-trafik dari Indosat (ISAT) ke Telkomsel (TSEL) = 1 Miliar menit dan incoming-trafik dari Telkomsel ke Indosat = 1 miliar menit. Trafik dua arah sama besar.
Jika tarif interkoneksinya Rp 500, maka ISAT membayar ke TSEL sebesar 1 miliar menit x Rp500 = Rp 500 miliar dan menerima dari Tsel sebanyak Rp 500 miliar juga.
Kasus kedua, Trafik dua arah tidak seimbang
Misal, outgoing trafik ISAT ke TSEL = 1,2 miliar menit dan incoming trafik dari Tsel = 1 miliar menit. Jika tarif biaya interkoneksi = Rp 200 per menit, maka ISAT membayar ke Tsel sebesar 1.2 miliar menit x Rp.200 = Rp 240 miliar dan akan menerima dari Tsel sebesar Rp 200 miliar.
Dalam simulasi kedua ISAT defisit Rp 40 miliar dan Tsel surplus 40 miliar.
Jika biaya interkoneksi diturunkan menjadi Rp100 maka angka-angka di atas berubah menjadi :
Isat membayar Tsel sebesar 1.2 miliar menit x Rp.100,- = Rp 120 miliar dan ISAT menerima dari Tsel sebesar 1 miliar menit x Rp.100,- = Rp 100 miliar.
Maka Tsel surplus Rp 20 miliar dan isat defisit 20 miliar. Ada penurunan angka surplus dari Rp 40 miliar menjadi Rp 20 miliar di sisi Tsel, dan ada pengurangan beban biaya di sisi isat dari Rp 40 miliar menjadi Rp 20 miliar.
Kasus ketiga, Trafik dua arah tidak seimbang (pola trafiknya kebalikan dari kasus kedua)
Misal, outgoing trafik ISAT ke Tsel = 1,0 miliar menit dan incoming trafik dari Tsel = 1,2 milyar menit.
Jika tarif biaya interkoneksi = Rp. 200 per menit, maka isat membayar ke Tsel sebesar 1.0 miliar menit x Rp.200 = Rp.200 miliar dan akan menerima dari Tsel sebesar Rp. 240 miliar. Maka dalam kasus ini Tsel defisit Rp 40M dan Isat surplus Rp 40 miliar.
Jika biaya interkoneksi diturunkan mjd Rp.100,- maka angka-angka di atas berubah menjadi:
Isat membayar Tsel sebesar 1.0 miliar menit x Rp.100,- = Rp 100 miliar dan isat menerima dari Tsel sebesar 1.2 miliar menit x Rp.100,- = Rp 120 miliar
Maka lsat surplus Rp 20 miliar dan Tsel defisit Rp 20 miliar . Ada penurunan angka surplus dari Rp 40 miliar menjadi Rp 20 miliar di sisi Isat, dan ada pengurangan beban biaya di sisi Tsel dari Rp 40 miliar menjadi Rp 20 miliar.
“Untuk kasus ini penurunan biaya interkoneksi justru menguntungkan Telkomsel. Akan heboh jika yang diangkat ke media adalah penurunan dari Rp 240 miliar ke Rp 100 miliar atau ada selisih penerimaan sementara sebesar Rp 140 miliar. Lalu dibilang operator A rugi Rp 140 miliar akibat turunnya tarif interkoneksi. Padahal yang terjadi adalah penurunan surplus interkoneksi sebesar Rp 20 miliar saja,” ulasnya.
Menurutnya, surplus Rp 20 miliar yang dialami satu operator tak bisa dianggap sebagai keuntungan, karena sesungguhnya ini adalah biaya tambahan (biaya off-net) yang harus dibayar oleh pelanggan untuk bisa menelepon ke pelanggan operator lain.
“Sungguh berbahaya menuduh atau melontarkan isu kerugian negara dalam hal interkoneksi. Padahal yang dinyatakan sebagai angka kerugian itu adalah beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk sekadar bisa tersambung ke pelanggan dari operator yang berbeda,” ingatnya.
Nonot pun menyarankan ribut-ribut revisi biaya interkoneksi tak dibawa ke ranah hukum seperti mengancam melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau meminta audit dari BPK. “Tak perlu sejauh itulah. Ini urusan orang dagang. Tidak bisa pedagang mengatakan pendapatan saya berkurang lalu menggugat Regulator telah menyebabkan kerugian pendapatan,” tegasnya. (Baca: Kisruh interkoneksi)
Sebelumnya, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan Surat Edaran (SE) tentang rencana penurunan biaya interkoneksi yang dikeluarkan pada 2 Agustus 2016 ditunda pelaksanaan pada 1 September 2016 karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) dari operator belum lengkap dan belum terlaksananya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR.
Dalam SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI), Geryantika Kurnia penurunan biaya interkoneksi terjadi 26% untuk 18 skenario panggilan telepon.
Anggota Komisi I DPR RI Hanafi Rais menyarankan Menkominfo Rudiantara untuk mencabut SE tersebut karena ada potensi penurunan pendapatan negara.
Hanafi menggunakan analisa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahwa penurunan interkoneksi bisa sangat membahayakan penerimaan negara dari sektor telekomunikasi, setidaknya dalam lima tahun ke depan.
Mulai dari potensi penurunan pendapatan hingga Rp 100 triliun, setoran dividen dan pajak ke pemerintah berkurang Rp 43 triliun, hingga investasi belanja modal di daerah rural berkurang Rp 12 triliun.
Operator sendiri kian terbelah dan terpecah pada dua kubu. Kubu pertama didominasi oleh operator Telkom Group yang tetap menggunakan biaya interkoneksi lama alias menolak hasil hitungan pemerintah. (Baca: Operator di Interkoneksi)
Kubu kedua adalah non Telkom Group yang tetap menggunakan biaya interkoneksi baru dalam DPI alias ingin adanya penurunan biaya interkoneksi. Siapa pemenangnya? Entahlah.(id)