JAKARTA (IndoTelko) – Rencana pemerintah untuk merevisi PP PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit tak surut dari kontroversi.
Jika sebelumnya Telkom Group berteriak tak dilibatkan dalam pembahasan revisi sehingga revisi akhirnya ditarik dibawah koordinasi Menkoperekonomian, kali ini giliran Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik (LIPKP) menilai proses perubahan tak transparan.
Koordinator LIPKP Sheilya Karsya menilai banyaknya pihak yang berkepentingan merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi PP ini.
“Belakangan diketahui bahwa pembahasan ulang revisi PP hanya melibatkan tiga penyelenggara jaringan seluler terbesar Telkom, Indosat, dan XL Axiata,” ungkapnya melalui rilis yang diterima, Kamis (8/9).
Dinyatakannya, memperhatikan kontroversi yang berkepanjangan, LIPKP tergerak untuk menyatakan sikap melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia(BRTI) agar kontroversi revisi kedua PP tidak semakin berlarut-larut dan taat asas agar melibatkan banyak pihak.
“Hemat kami, dalam penyusunan sebuah Peraturan Pemerintah, bukan hanya penyelenggara telekomunikasi, masyarakat pun berhak memberikan masukan, sebagaimana tercantum dalam UU12/2011 tentang pembentukanperaturan perundang-undangan,” katanya.
Menurutnya, penyelenggara telekomunikasi tidak hanya penyelenggara jaringan seluler, masih ada ratusan penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa lainnya yang juga berhak memberikan masukan terhadap draft revisi PP. Ada juga asosiasi seperti ABWINDO, APJATEL,APJII, APNATEL, ASKITEL, MASTEL juga berhak memberikan masukan terhadap draft revisi PP. Penyusunan draft revisi PP juga perlu melibatkan pemikiran dari para praktisi dan akademisi agar muatan materi dalam draft revisi PP sesuai dengan perkembangan industri dan teknologi.
“Kami meminta BRTI untuk mempublikasikan draft revisi PP dan memberikan ruang waktu yang cukup kepada para pihak untuk memberikan masukan, baik secara lisan maupuntertulis. Kami mempunyai keyakinan bahwa BRTI, yang dibentuk untuk lebih menjamin adanya transparansi,independensi, dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dapatmenjadi wasit yang adil dalam menyelesaikan kontroversi ini,” katanya.
Asal tahu saja, kedua PP yang direvisi merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator. Pengaturan masalah sharing antar operator ini harus didasarkan pada azas fairness dengan dasar perhitungan investasi yang jelas. (Baca: Revisi PP tanpa Telkom Group)
Menurut pemerintah, perubahan terhadap dua PP telekomunikasi ini diperlukan untuk memanfaatkan infrastruktur pita lebar (broadband) agar mendukung ekosistem industri telekomunikasi. (Baca: Misteri Revisi PP Telekomunikasi)
Banyak kalangan memprediksi, revisi kedua PP ini akan menjadi medan pertarungan baru antara Telkom Group dengan operator non Telkom, setelah isu revisi biaya interkoneksi yang tak kunjung kelar hingga batas waktu ditentukan pada 1 September lalu. (Baca: Kisruh Revisi PP Telekomunikasi)
Sementara Komisi I DPR mengingatkan revisi kedua PP tak bisa dilakukan tanpa merevisi terlebih dulu UU No 36/99 tentang Telekomunikasi.(id)