JAKARTA (IndoTelko) – Google dan isu pembayaran pajak kembali menjadi diskusi hangat di media massa jelang tutup pekan ini.
Api dimulai dari kabar Google menolak investigasi terhadap pembayaran pajaknya di Indonesia walau telah mendirikan PT Google Indonesia. (Baca: Google melawan Pajak)
Selain menolak diperiksa, Google juga menolak ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) atau badan yang seharusnya membayar pajak kepada negara.
Padahal, Kementrian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo) menyatakan Google adalah salah satu pemain kakap di bisnis iklan digital Indonesia. Belanja iklan online Indonesia 2015 mencapai US$ 800 juta atau lebih dari Rp 10,5 triliun. Sementara di 2016 diperkirakan peningkatan yang jauh lebih signifikan atau bisa tembus US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Sebagian besar atau sekitar lebih dari 75 % masuk ke Google dan Facebook.
Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengatakan Google dalam transaksi iklan langsung ke kantornya di Singapura, bukan Indonesia.
"Kalau di sisi Google, yang subjek kepada pajak itu bukan Google Indonesia. Karena Google Indonesia bukan berbisnis iklan. Yang bisnis iklan adalah Google Singapura," katanya, kemarin.
Rudiantara mengatakan pemerintah memang meminta Google Indonesia untuk menjadi BUT. Namun setelah dilakukan kajian, pemerintah tidak bisa langsung memaksa Google Indonesia untuk menjadi BUT. "Harus ada konsiderasi lagi seperti tax treaty, perjanjian pajak negara-negara yang masuk pada ekuasi. Dan tax treaty bisa beda beda kan, jadi memang tidak straight forward istilahnya," jelasnya.
Kenapa Google nyaman dengan posisi hanya memiliki kantor perwakilan (Representative office) di Indonesia?
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan jika hanya sebagai kantor perwakilan pajak yang bisa dikenakan ke Google sesuai pasal 15 UU PPh sekitar 0.44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.
“Ini beda kalau dia sebagai BUT. Potensi pajak yang bisa kita tarik seperti wajib pajak badan dalam negeri 25%, dan kewajiban-kewajiban lain terkait, misalnya PPN,” jelasnya kepada IndoTelko, kemarin.
Tetap kejar
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan masalah pajak dengan google dan berbagai macam transaksi kegiatan yang bersifat elektronik memang merupakan persoalan yang dihadapi semua negara.
"Ditjen Pajak menggunakan berbagai peraturan perundangan yang ada di Indonesia untuk menyatakan baaw kegiatan atau aktifitas yang menggunakan online atau platform eCommerce itu subjek pajak di Indonesia," katanya.
Menurutnya, wajib pajak bisa melakukan argumen berbeda, tapi di Republik Indonesia telah memiliki UU perpajakan. "Kalau ada suatu perbedaan tentu kami bisa melakukan secara bilateral atau mekanisme peradilan perpajakan," kata Mulyani.
Masih menurutnya, kegiatan yang ada di Indonesia diharapkan membentuk yang disebut BUT dan itu akan menyebabkan bahwa aktifitas ekonomi mereka merupakan objek pajak di Indonesia.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun mendukung langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, yang akan memeriksa kewajiban pajak Google Indonesia.
"Jika Google tidak menunjukkan sikap kooperatif kepada otoritas perpajakan di Indonesia, maka Pemerintah Indonesia harus segera melakukan upaya terpadu untuk memberikan tindakan tegas dan sepadan, yakni menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan kepada Google di Indonesia atau bahkan memblokir operasionalnya di seluruh wilayah NKRI," kata Misbakhun.
Asal tahu saja, Google dan kejaran pajak di sejumlah negara bukan hal yang baru. Misal, Australia tengah menggodok Undang-Undang baru yang bisa memaksa perusahaan yang bermarkas di California, Amerika Serikat tersebut membayar pajak.
Australia tengah menyiapkan Undang-Undang Antipengelakan Multinasional (Multinational Anti Avoidace Law/MAAL), atau dikenal Google Tax, guna membidik perusahaan-perusahaan teknologi besar, yakni Google dan Apple, yang menjual produknya di Australia dan membayar pajaknya.
Di Australia, pemain asing ini melakukan perlawanan dengan menyewa agensi akuntan agar bisa menghindari pajak. Pemerintah Australia melakukan aksi ini terinspirasi keberhasilan menagih pajak sebesar US$ 19 miliar atau Rp 249,28 triliun dari perusahaan teknologi. Bagaimana dengan Indonesia? Tunggu saja.(id)