Perburuan mencari harta karun yang dihasilkan Google di Indonesia berupa pembayaran pajak terus dilakukan pemerintah.
Langkah tersebut dimulai kala Menteri Keuangan dijabat Bambang PS Brodjonegoro pada April 2016 lalu.
Kala itu Bambang PS Brodjonegoro membuka status raksasa bisnis digital global tersebut di Indonesia. Dalam penyelidikan awal, Google sudah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri, tepatnya di KPP Tanah Abang III dengan status PMA sejak 15 September 2011. Google juga sebagai dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.
Aksi Bambang ternyata dilanjutkan oleh Dirjen Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiastead yang mengaku sudah berkomunikasi dengan para petinggi dari raksasa internet tersebut dan rencananya Chief of Finance Officer Google akan datang ke Indonesia untuk mengklarifikasi isu pajak perusahaannya di bulan September.
Namun, suasana yang sepertinya adem mendadak panas karena Google menolak investigasi terhadap pembayaran pajaknya di Indonesia. Alhasil, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mempertimbangkan mengambil langkah lebih keras kepada Google yang tak hanya menolak diperiksa, tetapi juga tak terima ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) yang seharusnya membayar pajak kepada negara. (Baca: Google dan Pajak)
Pemerintah memiliki kepentingan terhadap Google jika merujuk kepada data yang dimiliki Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Google adalah salah satu pemain kakap di bisnis iklan digital Indonesia. Belanja iklan online Indonesia 2015 mencapai US$ 800 juta atau lebih dari Rp 10,5 triliun. Sementara di 2016 diperkirakan peningkatan yang jauh lebih signifikan atau bisa tembus US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Sebagian besar atau sekitar lebih dari 75 % masuk ke Google dan Facebook.
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara mengatakan Google dalam transaksi iklan langsung ke kantornya di Singapura, bukan Indonesia. "Kalau di sisi Google, yang subjek kepada pajak itu bukan Google Indonesia. Karena Google Indonesia bukan berbisnis iklan. Yang bisnis iklan adalah Google Singapura," kata sang menteri.
Dari paparan Menkominfo, wajar saja Ditjen Pajak meradang. Jika hanya sebagai kantor perwakilan, pajak yang bisa dikenakan ke Google sesuai pasal 15 UU PPh sekitar 0.44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final. Angka akan berbeda jika diperlakukan sebagai BUT. Potensi pajak yang bisa ditarik diantaranya wajib pajak badan dalam negeri 25%, dan kewajiban-kewajiban lain terkait, misalnya PPN.
Dalam catatan, tak hanya di Indonesia Google mencoba meminimalkan pembayaran pajaknya atau dikenal dengan istilah tax planning. Di Italia, Google diminta untuk membayar pajak 300 juta euro atau setara Rp 4,4 triliun pada awal 2016. Nilai itu telah dikalkulasi dari pendapatan rata-rata Google selama enam tahun berbisnis di Negeri Pasta.
Dalam kacamata pemerintah Italia, Google telah melakukan manipulasi pajak dengan mengalokasikan pendapatan yang diperoleh di Italia ke Irlandia. Dampaknya, pajak yang disetor Google ke Italia menciut jadi 2,2 juta euro atau Rp 32 miliar pada 2015 lalu.
Di Inggris, Google sepakat membayar pajak sebesar 130 juta poundsterling atau Rp 2,2 triliun pada Februari 2016. Nilai 130 juta poundsterling dibayar Google untuk menebus pajak selama 10 tahun. Padahal, pendapatan Google Inggris dalam rentang waktu itu ditaksir mencapai 7,2 miliar poundsterling atau Rp 123 triliun.
Di Perancis, Google membawa sebagian besar pendapatannya ke Irlandia. Pemerintah Perancis menuntut Google membayar 1,6 miliar euro atau setara Rp 23,5 triliun.
Jika dilihat modus Google melakukan aggressive tax planning atau mencari kelemahan ketentuan pajak di satu negara semuanya sama yakni mengalokasikan pendapatan ke sebuah negara yang lebih rendah dan ramah soal pajak. Dalam kasus Indonesia, Singapura menjadi transitnya. (Baca: Modus Google hindari Pajak)
Bisa dipastikan tak akan mudah bagi Dirjen Pajak mengambil harta karun yang dihasilkan Google di Indonesia. Ibarat pertandingan olahraga, ini adalah lomba lari marathon bukan sprint jarak 100 meter. Stamina dan kekompakan semua kementrian harus diperlihatkan dalam menguber pajak dari Google. Tak bisa Dirjen Pajak dibiarkan bertarung tanpa ada sokongan dari Kemenkominfo mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) terkait Over The Top (OTT) yang lebih berpihak kepada kedaulatan Indonesia. (Baca: Mengejar Pajak OTT)
Sikap secara politis juga harus ditunjukkan kepada Google bahwa Indonesia serius meminta haknya. Jika memang ada kerjasama yang bisa disuspensi hingga masalah pajak tuntas, jangan segan-segan untuk disetop terlebih dulu. Sebuah ironi jika di satu sisi kita mencoba membuat Google takluk, tetapi di sisi lain ada juga unsur pemerintah seperti memberikan karpet merah bagi platform yang dimiliki Google. (Baca: Membuka kotak pandora OTT)
Selain itu, secara jangka panjang mungkin sudah saatnya ada roadmap yang lebih jelas menata kedaulatan Indonesia di dunia maya karena ekonomi masa depan adalah digital economy. Jangan sampai kita menjadi bagian dari penjajahan digital (Digital Colonization) ketika sektor ini benar-benar sudah menjadi bagian utuh dari perekonomian bangsa.
@IndoTelko