JAKARTA (IndoTelko) – Beredarnya kabar telah selesainya draft revisi PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit menjadikan tensi industri Halo-halo kembali panas.
Kedua PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator.
Revisi kedua PP ini kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatangan.
Dalam dokumen yang beredar dikalangan media ada wacana yang lumayan menggelitik. (Baca: Kontroversi aturan)
Isi draft menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan.
Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan. (Baca: Numpang Jaringan)
Masih dalam dokumen yang beredar, dinyatakan pemerintah menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen. Pemerintah menetapkan biaya atas penggunaan backbone yang dibangun oleh pemerintah dan dihitung sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Bisa dikatakan jika draft ini benar adanya, artinya tak ada perubahan yang terjadi dengan revisi sebelum diambil alih oleh kantor Menkoperekonomian.
Tak adil
“Tidak bisa pemerintah mewajibkan network sharing untuk backbone, sebagaimana dahulu pemerintah tidak memaksakan anggota konsorsium Palapa Ring untuk kembali bergabung,” tegas Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi di Jakarta, Jumat (23/9).
Diingatkannya, kala revisi PP digulirkan pada Semester I 2016 lalu, di media massa Menkominfo menegaskan tak ada kewajiban berbagi jaringan karena itu domain business to business (B2B). “Ini semua harus diklarifikasi dulu. Tadi tak wajib, sekarang jadi wajib. Ini kenapa draft tak dibuka saja resminya ke publik biar transparan semua,” katanya. (Baca: Berbagi jaringan tak wajib)
Diingatkannya, pemerintah harus hati-hati mewajibkan berbagi jaringan karena memiliki operator yang sahamnya dikuasai negara dan memiliki infrastruktur hingga ke pelosok. (Baca: Alergi Network sharing)
“Telkom itu posisinya sama dengan operator yang lain, tidak ada penugasan khusus ataupun privilege sebagai backbone operator. Semua investasi sendiri sehigg sebenarnya pernyataan bahwa Telkom ditugaskan untuk backbone itu tidak benar. Dulu sebelum tahun 1999 memang posisi Telkom itu sebagai badan pemyelenggara yang posisinya khusus waktu masih duopoly,” tuturnya.
Menurutnya, jika dalam revisi kedua PP itu aturan soal mewajibakan berbagi jaringan benar adanya maka muncul ketidakadilan di industri telekomunikasi
“Sebagai penyelenggara jaringan yang lisensinya sama, tentunya membangun jaringan nasional adalah kewajibannya. Network sharing akan menghilangkan equal treatment operator. Padahal menurut International Telecommunication Union (ITU) network sharing itu merupakan insentif dari regulator untuk operator masuk ke daerah yang sama sekali belum ada jangkauannya,” ketusnya.
Asal tahu saja, Telkom grup membentangkan backbone serat optik di bumi nusantara sepanjang 81.831 Km dari Sabang hingga Merauke.
Pemain seperti Telkom, misal XL Axiata, hanya "memiliki" serat optik tidak kurang dari 40.000 km, yang meliputi hampir seluruh wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku akan mempelajari revisi Peraturan Pemerintah soal telekomunikasi, khususnya soal network sharing atau berbagi jaringan.
KPPU akan meneliti agar efisiensi industri telekomunikasi network sharing dapat terjadi dengan prinsip usaha yang sehat.
Komisioner KPPU Muhammad Nawir Messi menyetujui adanya efesiensi di industri telekomunikasi nasional melalui network sharing. Namun menurut Nawir efesiensi tanpa diimbangi oleh fairness, tak akan membuat industri telekomunikasi Indonesia bebas dari sengketa persaingan usaha.
Fairness di mata komisioner KPPU ini tidak hanya pada titik tertentu saja melihatnya. Tetapi harus dilihat berapa besar uang yang telah dikeluarkan oleh Telkom Group dalam membangun infrastrktur telekomunikasinya selama ini.
Semua biaya yang dikeluarkan harus diperhitungkan di dalam perhitungan baik itu interkoneksi maupun network sharing. “Kalau kompensasi ini tidak ada maka akan selalu menimbulkan persoalan. Dan ujung-ujungnya diselesaikan di KPPU,”terang Nawir.
Disarankan Nawir sebelum dilakukan network sharing harusnya regulator membuat level playing field yang sama. Jika tidak ada level playing field yang sama, Nawir memperkirakan potensi persaingan usaha tidak sehat masih akan terjadi.
Komisioner KPPU ini melihat hanya Telkom Group saja yang ‘jungkir balik’ membangun dan memenuhi komitment pembangunan di Indonesia Timur dan daerah terpencil.
“Sehingga sangat wajar jika BUMN telekomunikasi kita menjadi sangat dominan saat ini. Karena operator telekmunikasi yang lain tidak ada yang mau membangun. Itu yang dinamakan natural monopoli,”kata Nawir. (Baca: Bisnis Backbone)
Nawir pun pesimis adanya network sharing ini akan membuat tarif pungut di level konsumen akan turun signifikan.(id)