Jangan biarkan Google lolos dari kewajiban pajak

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengharapkan pemerintah tak lelah mengejar kewajiban pajak dari Google demi kesetaraan berusaha di Indonesia.

“Kewajiban pajak dari perusahaan yang besar dari layanan mesin pencari Google ini, bukan karena statusnya sebagai perusahaan asing, tapi demi menciptakan kesetaraan dan keadilan merata terhadap seluruh pelaku industri teknologi informasi. Ini adalah persoalan untuk menciptakan level playing field sama dan fair bagi seluruh pemain konten,” kata Sekjen APJII Henri Kasyfi, dalam rilisnya belum lama ini.

Seperti diketahui, masalah pajak Google Indonesia ini menyeruak ke publik,  ketika perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tersebut menolak diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Google Indonesia yang berkantor di Sentral Senayan II, Jakarta Pusat, ini berdalih  belum berbentuk badan usaha tetap (BUT), hanya beroperasi sebagai kantor perwakilan, sehingga Google enggan dipotong pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) terhadap transaksinya di Indonesia

Padahal catatan Ditjen Pajak, Google Indonesia terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III, dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan "dependent agent" dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.

Ditjen Pajak memperkirakan pada 2015 dari bisnis iklan digital kewajiban Google ke negara sekitar Rp 5 triliun.

Jika digunakan Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, belanja iklan digital di Indonesia mencapai angka US$800 juta di tahun lalu, atau setara dengan Rp10,5 triliun. Di tahun ini diperkirakan angka itu naik sampai US$1 miliar atau Rp13 triliun. Dari angka tersebut, sekitar 75% masuk ke kantong Google dan Facebook.

Laporan eMarketer menyebut, secara global, tahun ini kemungkinan Google akan meraup pendapatan dari iklan digital sebesar US$57,8 miliar, atau setara dengan 30,9%  dari total pendapatan pasar iklan digital di seluruh dunia.

Kontribusi dari iklan di mesin pencarian akan mencapai US$47,57 miliar atau sekitar 55,2% dari total pendapatan iklan di seluruh platform mesin pencarian.

Sedangkan di iklan display, tahun ini Google akan mendapatkan penghasilan US$10,23 miliar. Iklan di YouTube pun akan memberikan kontribusi cukup besar, sekitar US$5,18 miliar. Belum lagi pendapatan iklan mobile (mobile search, apps, playstore) sekitar US$34,11 miliar. Tak heran valuasi Google dalam taksiran Forbes sampai Mei 2016  mencapai US$82,5 miliar.

Henry menambahkan, jika Google dibiarkan tidak membayar pajak, akan terjadi ketidakadilan dalam dunia usaha. Sebab perusahaan nasional yang bergerak di  jasa tekologi informasi telah dikenai kewajiban pajak. Jika ketidakadilan ini dibiarkan berlarut-larut, maka berpotensi merusak tatanan industri teknologi informasi nasional.

Selain soal perpajakan, APJII juga mengimbau agar keadilan dan kesetaraan di kalangan pelaku industri juga berlaku di sektor lainnya. Contohnya, pemerintah harus menjamin kesehatan industri di bidang akses ke infrastruktur dengan ketersedian dan harga yang sama.

"Misalnya, jika level of playing field dibuat fair dan sama bagi semua operator akses, maka seluruh penyelenggara ISP punya akses yang digelar oleh network provider dengan ongkos yang fair," tambahnya.

Sebelum kasus ini muncul ke permukaan, APJII sebenarnya  pernah mengingatkan pemerintah soal pajak perusahaan over the top (OTT) seperti Google. Ketua Umum APJII Jamalul Izza menyatakan potensi pajak dari iklan digital yang lepas  di dalam negeri bisa mencapai Rp 15 triliun.

Potensi pajak tersebut dihitung dengan menghitung pendapatan OTT global, seperti Facebook, Google, Twitter, dan lain-lain. Padahal, jika potensi pajak yang hilang ini bisa dikumpulkan, pemerintah akan memiliki dana jumbo untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di penjuru negeri.

Jamal mencontohkan pendapatan kuartalan Facebook mencapai US$ 2 per user atau menjadi US$ 8 per user per tahun. Jika pengguna Facebok di Indonesia mencapai 100 juta, maka pendapatan Facebook di Tanah Air bisa mencapai US$ 800 juta atau sekitar Rp 10 triliun per tahun.

Jika digabungkan dengan OTT lain yang beroperasi di Indonesia , APJII memperkirakan jumlahnya bisa mencapai Rp 100 triliun. Dengan memungut PPN dan PPh, maka potensi pajak yang bisa ditarik negara mencapai Rp 15 triliun.

“Dengan potensi pajak besar itulah, APJII mengimbau agar seluruh pemangku kepentingan menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini. Pajak Google tidak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak,  tapi juga pemerintah secara keseluruhan termasuk Kominfo,” tutupnya.(id)