Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara sepertinya serius ingin melakukan revisi Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012 tentang Penyelengaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
Salah satu target dari Pria yang akrab disapa Chief RA itu adalah melakukan revisi pasal 17 Ayat 2 di PP PSTE yang menyebutkan Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara. (Baca: Rencana revisi PP PSTE)
Bagi Chief RA, kehadiran fisik dari data center tak relevan di era cloud computing. “Hal yang penting adalah user ID dan password ada di tangan Indonesia.Kita harapkan dengan revisi PP PSTE nanti, bisa membuat bisnis di Tanah Air lebih efisien, sebab Indonesia tetap harus berkompetisi dengan negara lain,” katanya pekan lalu.
Ditentang
Banyak pihak tak sependapat dengan wacana yang digulirkan oleh Chief RA ini. (Baca: Kerugian revisi PP PSTE)
Menurut Anggota Komisi I DPR Sukamta banyak manfaat bagi Indonesia jika keberadaan data center ada secara fisik. Mulai dari perusahaan digital dapat lebih meningkatkan layanan mereka dari segi kecepatan dan kestabilan akses karena dapat mengurangi "hops route". Belum lagi penempatan data center di Indonesia akan memberikan kontribusi ekonomi.
Mengacu data Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, kebutuhan data center di Indonesia diperkirakan mendekati 150.000 meter persegi (raised floor) dengan nilai bisnis Rp4 triliun.
Sukamta pun meminta pemerintah meniru Eropa dimana pada 2015 Pengadilan di sana memutuskan perjanjian Safe Harbor tidak berlaku sehingga pemain seperti Facebook atau Twitter harus menjaga data pelanggan di Eropa tidak disalahgunakan dan keluar dari negaranya tanpa izin.
Sementara Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO) mengingatkan isu data center harus di Indonesia mewakili isu kedaulatan data, ketahanan informasi (information resilience), keamanan data publik, penegakan hukum di era digital, dan tentunya kepentingan industri nasional.
Apalagi, Indonesia adalah salah satu negara pengimpor bandwidth terbesar di Asia Tenggara. Pada 2015 trafik banwitdh internasional dari Indonesia sekitar 390 Gbps atau setara dengan Rp 3,2 triliun. Per Maret 2016, nilai impor bandwidth internasional sudah 1,5 Tbps atau sekitar Rp 16 triliun. Pada akhir tahun ini diperkirakan bisa tembus 2 Tbps.
Banyak pihak menyarankan salah satu cara menekan impor bandwidth selain banyak mengonsumsi konten lokal, minimal data center atau Content Delivery Network (CDN) ada di Indonesia.
Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) mengingatkan kondisi bisnis internet di Indonesia belum memasuki tahapan ideal sehingga dibutuhkan intervensi regulasi seperti PP PSTE agar negara ini tak sekadar menjadi pasar di era ekonomi digital.
Aspiluki menyatakan data center dalam industri berperan sebagai hub, dimana produk dan layanan turunannya akan tumbuh di sekelilingnya mulai dari infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), regulasi, dan pemanfaatan. Kedepan data adalah dollar AS. Artinya, di era big data jika tak memiliki kedaulatan terhadap data center, Indonesia hanya menjadi penonton.
Baik Aspiluki atau IDPRO yang notabene perwakilan dari pelaku usaha menyatakan pemain asing pun sebenarnya memahami roh dari PP PSTE tersebut dan siap menyesuaikan dengan rencana bisnisnya.
Nah, pertanyaannya jika sebenarnya tak ada yang mengeluh, kenapa regulasinya harus diubah? Lebih jauh lagi, bukankan petunjuk teknis (Juknis) dari PP PSTE soal penempatan data center ini belum ada?
Kenapa Rudiantara tak bermain di tataran Juknis berupa Peraturan Menteri (Permen) untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang "Katanya" keberatan?
Apakah wajar kepentingan negara kita korbankan demi segelintir kelompok yang kebetulan punya akses ke kekuasaan? Entahlah!
@IndoTelko