Revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi dan frekuensi cacat prosedur?

Para panelis diskusi revisi aturan frekuensi(dok)

JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah dianggap cacat prosedur dalam menjalankan revisi  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

“Selama ini tak pernah di buka draft revisi. Padahal sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebut masyarakat punya hak untuk mengakses draft  tersebut. Jika akses ke draft tidak dibuka dan tak ada konsultasi publik, ini sudah cacat prosedur,” tegas Komisoner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, kala menghadiri sebuah diskusi kemarin.

Mengutip pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011,  masyarakat, baik orang perseorangan atau kelompok yang berkepentingan atas substansi seperti ormas, kelompok profesi, serta LSM diberi hak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan. (Baca: Revisi PP Telekomunikasi cacat moral

“Kami sama sekali tidak mengetahui apakah Kemenkominfo sudah menggelar konsultasi publik. Namun, sepanjang melakukan monitoring terhadap pembahasan network dan frequency sharing, nampaknya memang Kemenkominfo tidak melakukan konsultasi publik sama sekali,” katanya.

Lampaui UU
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai revisi PP tersebut tidak selaras dengan undang-undang yang sudah ada. "Draft RPP ini bertentangan dengan undang-undang. Tidak boleh begitu. Seharusnya, peraturan pemerintah merupakan penjabaran isi dari undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada di sistem hukum tata negara peraturan pemerintah bisa melampaui undang-undang," tegasnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR, Hanafi Rais menambahkan revisi kedua PP tersebut melanggar ketentuan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Misalnya mengenai draf yang menyebutkan bahwa frekuensi dapat dipindahtangankan berdasarkan keputusan Menkominfo.  Padahal,  substansi UU Nomor 36 Tahun 1999 secara terang mengatur bahwa frekuensi dikuasai tunggal oleh negara.

Sementara Anggota Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna mengaku tak tahu posisi terakhir dari draft revisi kedua PP.  “Saya gak tau sekarang posisinya dimana, terakhir saya ikut rapat di menkoperekonomian,” kilahnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Danny Buldansyah juga mengaku  belum menerima draf revisi PP tersebut. “Saya belum tahu hasilnya. Ini juga dengar-dengar di media dan omongan Pak Ketut barusan,” elaknya.

Asal tahu saja, sejak bergulirnya wacana revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 membuat tensi politik di industri telekomunikasi meninggi. Telkom Group awalnya tak dilibatkan dalam revisi ini, padahal konten perubahan banyak menyangkut bisnis yang dijalankan perusahaan negara itu ke depannya. (Baca: Kontroversi Revisi PP)

Kabarnya revisi kedua PP sudah berada di Sekretariat Negara dan tengah menunggu tandatangan dari Presiden Joko Widodo.(id)