JAKARTA (IndoTelko) - Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit ternyata tak hanya menyajikan cerita manis tentang efisiensi biaya, tetapi ada bom waktu potensi kerugian sebesar Rp 14 triliun jika berbagi jaringan aktif (network sharing) dijalankan oleh pelaku usaha di sektor Halo-halo.
"Selama ini banyak yang didengungkan soal efisiensi jika network sharing dijalankan. Tetapi kami punya kalkulasi ada potenstial loss atas revenue industri telekomunikasi sebesar Rp 14 triliun jka revisi kedua PP itu dilakukan," ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (11/10).
Menurutnya, revisi kedua PP tersebut memacu kompetisi yang tidak sehat dan tidak fair sehingga akan memacu perang harga sehingga menurunkan penjualan dan laba bersih yang ujungnya berdampak pada turunnya kontribusi PPN, PPh, dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Estimasi terjadinya potential loss atas revenue industri sebesar Rp 14 triliun akan mengakibatkan terjadinya penurunan kontribusi PNBP sebesar Rp 245 miliar (1,75% x Rp 14 triliun), penurunanan penerimaan PPN sebesar Rp 1,4 triliun (10% x Rp 14 triliun), dan PPh Badan sebesar Rp 559 miliar (25% x Rp 14 triliun).
Tak hanya itu, jika network sharing diwajibkan seperti rencana revisi kedua PP, berdampak pada turunnya daya saing perusahaan yang dipaksa berbagi, dan menurunkan dividen sebagai bagian keuntungan pemerintah.
Dampak lain mungkin terjadi adalah multiplier effect karena turunnnya belanja modal dan beban operasional yang berakibat pada berkurangnya kue ekonomi bagi industri pendukung sektor telekomunikasi.
"Terakhir, frekuensi sharing juga akan menyebabkan monetisasi frekuensi di secondary market dan mengakibatkan efek ganda turunnya PNBP," katanya.
Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara menjelaskan kedua PP yang akan direvisi merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator.
Dalam bocoran yang didapat media, isi draft memang menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan.
Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan.
Masih dalam dokumen yang beredar, dinyatakan pemerintah menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen.
Pemerintah menetapkan biaya atas penggunaan backbone yang dibangun oleh pemerintah dan dihitung sebagai PNBP. (Baca: Panas Revisi PP Telekomunikasi)
Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala sejak wacana revisi kedua PP digulirkan mengingatkan ada potensi berkurangnya PNBP karena revisi aturan. “Ini ada yang dirugikan ada yang diuntungkan. Jadi, mirip-mirip reklamasi Teluk Jakarta nih barang kalau KPK cermat melihat kasus ini,” paparnya beberapa bulan lalu. (Baca: Numpang jaringan)
Diungkapkannya, jika mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi jelas tentang tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri. Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada business to business, (B2B), ada potensi kerugian. (Baca: Salah kaprah dengan network sharing)
Pasal 30 dari PP No 53/2000 menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Nah, masalahnya muncul jika kemudian frekuensi ini digunakan bersama. (Baca: Network sharing merugikan negara)
"Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar, sementara biaya hak penggunaan (BHP) tetap," ungkapnya.(id)