JAKARTA (IndoTelko) – Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI) menilai aksi korporasi dari PT XL Axiata Tbk (XL) dan PT Indosat Tbk (ISAT) atau Indosat Ooredoo dengan membentuk perusahaan patungan, PT. One Indonesia Synergy (OIS) berpotensi merugikan konsumen.
"Pembentukan OIS patut diduga bertujuan untuk mengurangi persaingan dengan cara mengatur produksi yang melanggar ketentuan hukum persaingan usaha di Indonesia. Bahkan, dampaknya juga signifikan bagi pelanggan karena berpotensi merugikan pelanggan dari sisi tarif dan kualitas layanan,"ungkap Ketua Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI) Rofiq Setyadi dalam rilisnya ke IndoTelko, Rabu (12/10).
Menurutnya, industri telekomunikasi seluler adalah salah satu sektor yang sangat terkonsentrasi, di mana di dalam pasar hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, yaitu Telkomsel, Indosat Ooredoo,XL Axiata, Hutchinson 3 Indonesia, Bakrie Telecom, dan Smartfren Telecom.
Diungkapkannya, pada pasar yang sudah sangat terkonsentrasi, ternyata dua grup operator telekomunikasi seluler internasional, yaitu Ooredoo (dahulu Qtel, induk dari PT. Indosat Ooredoo) dan Axiata (induk dari PT. XL Axiata) pada tahun 2011 menunjuk sebuah perusahaan konsultan, yaitu Renoir Consulting untuk memfasilitasi kerjasama tentang manfaat dan keuntungan dari network sharing.
Renoir Consulting merupakan perusahaan konsultan bisnis internasional yang lingkup kerjanya adalah memetakan dan melakukan improvisasi terhadap bisnis dari suatu perusahan dalam rangka efisiensi bisnis. Adapun ruang lingkup perjanjian kerjasama tersebut bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan persaingan yang terjadi di antara dua anak usaha dari Ooredoo dan Axiata. Sebagaimana diketahui, Indosat Ooredoo dan XL Axiata merupakan perusahaan yang saling bersaing dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia.
Kerjasama tersebut memiliki berbagai tujuan, yakni mengurangi investasi sebesar 50%, membuat perjanjian antar pemasok dengan volume diskon 30%, menyediakan harga rendah dan kapasitas perlindungan prima di jalur alternatif, berbagi jaringan Radio Access Network (RAN) dan roaming nasional, membuat saluran sinyal in-building, dan menyediakan jasa konsultasi guna kolaborasi pembangunan jaringan telekomunikasi.
Masih dalam penelusuran FMPTI, kerjasama antara kedua perusahaan tersebut terus berlanjut, hingga Mei 2016, XL Axiata dan Indosat Ooredoo mendirikan perusahaan patungan di Indonesia, yaitu PT. One Indonesia Synergy, di mana masing-masing perusahaan tersebut memiliki 50% saham dari perusahaan patungan. Dalam pembentukan PT. One Indonesia Synergy, XL Axiata dan Indosat Ooredoo melibatkan manajemen dalam penentuan pimpinan perusahaan patungan yang dimaksud.
“Perjanjian kerjasama pembentukan perusahaan patungan tersebut jelas berpotensi melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, karena perjanjian tersebut mengurangi atau bahkan menghilangkan persaingan yang terjadi di antara XL Axiata dan Indosat Ooredoo dalam industri telekomunikasi seluler di Indonesia,” katanya.
Masih menurutnya, melalui perusahaan patungan tersebut Indosat Ooredoo dan XL Axiata dapat mengatur produksi dengan melakukan efisiensi dalam investasi pembangunan jaringan tanpa perlu melibatkan kedua perusahaan yang melakukan belanja aset, melainkan dapat dilakukan oleh salah satu perusahaan saja yang kemudian akan digunakan secara bersama-sama. Hal tersebut menyebabkan XL Axiata dan Indosat Ooredoo dapat memberikan harga yang lebih rendah dibandingkan para pelaku usaha pesaingnya di pasar bersangkutan yang sama.
Mengingat One Indonesia Synergy adalah perusahaan patungan bukan perusahaan hasil merger, maka lisensi frekuensi yang dimiliki oleh XL Axiata dan Indosat Ooredoo tidak berkurang. Hal tersebut secara otomatis berdampak pada tidak berkurangnya kewajiban XL Axiata dan Indosat Ooredoo untuk membangun jaringan di seluruh Indonesia.
"Pada faktanya, salah satu tujuan dari kerjasama tersebut adalah mengurangi total kewajiban pembangunan jaringan. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip modern licensing yang dianut dalam Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2010 tentang Penyelenggara Telekomunikasi," katanya.
Berdasarkan prinsip modern licensing pada industri telekomunikasi seluler, pemberian lisensi frekuensi bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur jaringan bukan diperuntukkan untuk membagi jaringan (network sharing) mengingat frekuensi merupakan sumber daya yang terbatas. Namun pada faktanya, PT. One Indonesia Synergy justru didirikan untuk mengurangi pemenuhan kewajiban pembangunan infrastruktur jaringan.
“Berdasarkan fakta, patut diduga bahwa perjanjian kerjasama antara XL Axiata dan Indosat Ooredoo telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, yang berpotensi merugikan industri maupun masyarakat selaku konsumen,” tegas Rofiq.
Dalam kalkulasinya, terhadap persaingan usaha di industri telekomunikasi seluler, kerugian yang mungkin timbul antara lain berkurangnya pembangunan jaringan yang dilakukan oleh XL Axiata dan Indosat Ooredoo dan adanya potensi atas pertukaran informasi strategis yang seharusnya menjadi rahasia perusahaan dalam berkompetisi.
Sementara itu, potensi kerugian yang diderita pelanggan di antaranya adanya potensi penetapan tarif yang merugikan konsumen, pelayanan kepada konsumen terkait coverage yang seharusnya dapat dipenuhi oleh XL Axiata dan Indosat Ooredoo tidak dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut, dan adanya potensi penurunan kualitas layanan dan hambatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi ke seluruh wilayah Indonesia karena industri menjadi tidak sehat.
FMPTI merujuk kepada aksi XL meluncurkan promo telepon Rp 59 permenit bagi pelanggan di luar Pulau Jawa untuk panggilan off-net. Promo ini sangat mirip dengan promo yang dilakukan Indosat dengan tarif Rp 1 per detik (Rp 60 permenit) untuk panggilan off-net di luar Jawa yang diluncurkan pada pertengahan 2016 lalu.
XL dan Indosat juga sama-sama berkeinginan menerapkan tarif interkoneksi yang sama sebesar Rp 204 permenit. Padahal recovery cost kedua operator ini jauh di bawah angka tersebut: XL Rp 65 permenit, sedangkan Indosat Rp 86 permenit. (Baca: KPPU soal Indosat dan XL)
"Indikasi kecurangan tersebut semakin terasa kuat karena pemerintah sendiri belum menetapkan kebijakan baru terkait penetapan tarif interkoneksi. Kami melihat bahwa ada dasar hukum, fakta empiris, dan argumen yang kuat mengenai dugaan pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh kedua operator itu. Kami mohon kepada Ketua KPPU Republik Indonesia c.q. Kepala Biro Investigasi c.q. Kepala Biro Penindakan agar berkenan menerima dan memeriksa Laporan Dugaan Pelanggaran Tindakan Praktik Anti Persaingan yang kami ajukan, serta ditindaklanjuti dengan melakukan proses hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tukasnya.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengakui adanya laporan dari masyarakat tentang dugaan kartel dari aksi Indosat Ooredoo dan XL Axiata dalam pembentukan perusahaan patungan, PT One Indonesia Sinergy (OIS). (Baca: XL soal OIS)
XL Axiata menyatakan OIS sama sekali belum beroperasi, karena perizinan belum selesai. "Karena belum beroperasi, artinya belum memberikan efek bisnis,” tegas Vice President Corporate Communication XL Axiata, Turina Farouk.(id)