JAKARTA (IndoTelko) – Rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang akan memungut pajak dari pelaku media sosial yang mengomersialkan akun yang dimilikinya dinilai wajar tetapi diyakini tak akan mudah dalam realisasi.
“Kalau dilihat secara aturan itu memang sudah betul (keinginan menarik pajak). Penghasilan yang diterima individu hakekatnya adalah objek pajak,” ungkap Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo dalam pesan singkatnya kepada IndoTelko, Jumat (14/10).
Ditambahkannya, keinginan itu akan terkendala di cara mendapatkan pajaknya. Biasanya penghasilan yang diterima seseorang masuk dalam objek pajak dan harus dibayar, dihitung, dan dilaporkan di SPT pribadi.
“Ini yang jadi masalah bagaimana cara memunngut yang efektifnya. Bisa saja yang ngasih kerjaan ke individu itu memotong PPh 21. Biasanya kerjaan kan dari Agency atau produsen, ada badan usahanya. Tetapi ini kuncinya perlu sosialisasi dan edukasi,” katanya.
Asal tahu saja, pemerintah memang tengah getol melirik pemasukan dari bisnis berbasis internet. Setelah Google diuber-uber soal hutang pajak, kini giliran individu yang memanfaatkan media sosial (medsos) untuk kegiatan komersial dibidik pajaknya. (Baca: Memburu Pajak Media Sosial)
Dasar pengenaan pajak bagi Selebgram atau Selebtwit pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Penghasilan dari individu ini dianggap sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).
Salah satu cara yang akan dilakukan adalah dengan cara melihat akun para penjual di berbagai media sosial. Ditjen Pajak mengaku kini telah memiliki data terkait pungutan pajak bagi pemilik akun ini.
Diprediksi, pemerintah bisa mendapatkan pemasukan hingga US$ 1,2 miliar atau setara Rp 15,6 triliun, jika bisa menarik pajak dari kegiatan di media sosial tersebut
Dalam Undang-Undang (UU) Perpajakan memang disebutkan bahwa siapapun yang memiliki penghasilan maka mereka adalah objek pajak.
Jika penghasilan dari seorang penggiat di media sosial berkat komersialisasi akun lebih dari Rp4,8 miliar per tahun, maka termasuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Selama ini sistem perpajakan di Tanah Air adalah self assessment di mana pelaporan dan penghitungan pajak diserahkan kepada wajib pajak itu sendiri. Sayangnya, tidak semua masyarakat Indonesia taat pajak, begitu juga para pemain di media sosial yang dinilai belum tertib melaporkan penghasilannya.(id)