JAKARTA (IndoTelko) - Ombudsman Republik Indonesia telah menyampaikan saran kepada Presiden Republik Indonesia (RI) untuk menunda pengesahan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Ombudsman mengaku telah mencermati, menelaah, dan mempertimbangkan, yang ujungnya menyatakan revisi kedua PP tersebut cacat prosedur, cacat substansi, dan tidak didukung cara perhitungan yang bisa dipertanggungjawabkan. "Karena itu kita berikan saran ke Presiden untuk menunda pengesahan revisi dan mempercepat pengusulan draft revisi UU Telekomunikasi," kata Komisoner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/10).
Lantas bagaimana reaksi Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)? Plt. Kepala Biro Humas Kominfo Noor Iza mengatakan revisi terhadap kedua PP tersebut salah satu latar belakangnya adalah adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang berkenaan dengan Kominfo dan juga ada rekomendasi dari Ombudsman yang akan menjadi pendalaman dan pencermatan oleh Kominfo untuk melihat posibility pelaksanaannya. "Kedua (putusan MA dan rekomendasi Ombudsman) memerlukan penataan regulasi eksisting," katanya di Jakarta, Kamis (20/10).
Dikatakannya, saran dari ombudsman kepada kominfo untuk menerapkan regulasi frequency and network sharing juga menjadi pencermatan.
"Dalam hal ini terhadap Putusan MA, kominfo akan melaksanakan yang menjadi putusan inkrah dari MA. Untuk melaksanakan putusan inkrah diperlukah penataan beberapa regulasi eksisting sehingga akan sejalan dengan aspek-aspek teknis yang ada," tutupnya.
Jika melihat penjelasan dari Noor Iza, sepertinya dirinya merujuk kepada permintaan Ombudsman Republik Indonesia pada Maret lalu yang meminta kominfo menuntaskan kasus PT Corbec Communication (Corbec) karena telah berlangsung cukup lama. (Baca: Kominfo dan Corbec)
Sementara Ombudsman dalam rilisnya pada Kamis (20/10) secara detail dan rinci membuka "bolong" cacat prosedur dari revisi PP no 52 dan 53 tahun 2000. Bahkan, lembaga ini mempertanyakan penghematan devisi US$ 200 miliar atau kurang lebih Rp2.644 triliun yang dilontarkan Kominfo melalui portalnya. (Baca: Kominfo soal revisi PP telekomunikasi)
Perhitungan ini janggal mengingat nilai tambah (PDB) sektor telekomunikasi pada 2015 hanya mencapai Rp 406.9 triliun. "Kami melihat pernyataan tersebut tak disertai informasi cara perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga berpotensi menciptakan penyesatan informasi kepada publik," kata Alamsyah. (Baca: Rekomendasi Ombudsman)
Alamsyah ketika diminta pendapatnya terhadap penjelasan terbaru dari Kominfo menyarankan sebaiknya secepatnya diusulkan draft perubahan terhadap Undang-undang Telekomunikasi."Baiknya itu saja dulu dikerjakan," tegasnya.(id)